Wilujeng sumping kasadayana mugia aya mangfaatna

Rabu, 21 Desember 2011

Perkembagan Kognitif Pada Peserta Didik


PEMBAHASAN
2.1    Perkembang an Kognitif
            Perkembangan kognitif (intelektual) sebenarnya merupakan perkembangan pikiran. Pikiran anak adalah bagian dari otaknya yang bertanggung jawab terhadap aspek bahasa, pembentukan mental, pemahaman, penyelesaian masalah, pandangan, penilaian, pemahaman sebab akibat, serta ingatan. Perkembangan kognitif merupakan perkembangan kemampuan otak dalam menguasai aspek-aspek tersebut.
            Perkembangan kognitif merupakan perkembangan yang bersifat fungsional dan lebih tinggi kualitasnya daripada perkembangan motorik. Dalam perkembangan kognitif akan tampak adanya kegiatan-kegiatan yang bersifat kognitif. Tingkah laku anak yang semula bersifat tidak/kurang disadari, kini dihubungkan dengan kesadarannya terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Tingkah laku anak menjadi lebih berarti. Manipulasi motoriknya menjadi lebih efektif, terkoordinasi, dan lebih terarah kepada penyesuaian dan penguasaan sekitarnya. Dari pengalaman-pengalaman tersebut, kemudian terbentuklah berbagai konsep tentang berbagai benda, situasi, hubungan, dan sebagainya. Anak akan dapat memperkirakan hasil dan akibat dari tingkah laku dan perbuatannya. Dengan kata lain, anak telah dapat memperkirakan/memperhitungkan secara mental segala sesuatu yang akan diperbuatnya. (Kusmaedi dan Husdarta, 2002:85)
            ”Kegiatan kognitif melibatkan lebih banyak pemfungsian pusat sistem syaraf (otak), oleh karena itu kegiatannya semakin berdasarkan manipulasi representasi ide dari benda-benda dan situasi.” (Kusmaedi dan Husdarta, 2002:85)
            Menurut taksonomi Bloom, kegiatan kognitif meliputi beberapa ranah diantaranya ranah pengetahuan (C1) yang meliputi kemampuan mendefinisikan, mengidentifikasikan, mencocokan, memilih, dan menyatakan. Ranah pemahaman (C2) yang meliputi kemampuan memperkirakan, menjelaskan, menarik kesimpulan umum, dan memberi contoh. Ranah penerapan (C3) yang meliputi kemampuan menghitung, mendemonstrasikan, mengerjakan dengan teliti, memodifikasi, dan menggunakan. Ranah analisis (C4) berupa kemampuan menguraikan, membedakan, membuat garis besar, dan merinci. Ranah sintesis (C5) berupa kemampuan menggolongkan, menghimpun, menyusun, merangkum, dan merevisi. Ranah evaluasi (C6) berupa kemampuan menilai, membandingkan, mengkritik, menjelaskan, menginterpretasikan, dan menyimpulkan. (Yusuf et al., 1992:107).
            Perkembangan kognitif dapat diukur secara kuantitatif. Misalnya jumlah suku kata yang dikuasai pada mulanya sedikit atau terbatas, semakin bertambah umur semakin bertambah banyak. Sehingga pada umur kurang dan 1,5 tahun anak sudah bisa mengucapkan rangkaian suku kata menjadi perkataan dengan objek tertentu. Kemampuan mengenal objek-objek di lingkungannya bertambah sedikit demi sedikit. Semua perubahan tersebut menunjukkan adanya perbedaan kuantitatif yang bisa diukur. Deskripsi perkembangan kognitif secara kuantitatif dapat dikembangkan berdasarkan hasil laporan berbagai studi pengukuran dengan menggunakan tes inteligensi sebagai alat ukurnya. (Loree, 1970:78)

2.2    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Kognitif
         Ada empat faktor yang dapat berpengaruh terhadap perkembangan kognitif yaitu :
a.       lingkungan fisik
b.      .kematangan
c.       .pengaruh sosial
d.      .proses pengendalian diri (equilibration)

2.3       Teori-Teori Perkembangan Kognitif
            Ada tiga model teori perkembangan kognitif, yaitu: Teori dari Piaget, Teori Pemrosesan Informasi, dan Teori Kognisi Sosial.
1.            Teori Piaget
            Fokus perkembangan kognitif Piaget adalah perkembangan secara alami fikiran pembelajar mulai anak-anak sampai dewasa. Piaget berpendapat bahwa perkembangan manusia dapat digambarkan dalam fungsi dan struktur. Fungsi merupakan mekanisme biologis bawaan yang sama bagi setiap orang atau kecenderungan-kecenderungan biologis untuk mengorganisasikan pengetahuan ke dalam struktur kognisi, dan untuk beradaptasi kepada berbagai tantangan lingkungan. Tujuan dari fungsi-fungsi itu adalah menyusun struktur kognitif internal. Sementara struktur merupakan interelasi (saling berkaitan) sistem pengetahuan yang mendasari dan membimbing tingkah laku inteligen. Struktur kognitif diistilahkan dengan konsep skema, yaitu seperangkat keterampilan, pola-pola kegiatan yang fleksibel yang dengannya anak memahami lingkungan. (Yusuf, 2007:5)
            Skema merupakan aspek yang fundamental dalam Teori Piaget, namun sangat sulit untuk dipahami secara komprehensif. Dia meyakini bahwa inteligensi bukan sesuatu yang dimiliki anak, tetapi yang dilakukannya. Anak memahami lingkungan hanya melalui perbuatan (melakuakan sesuatu terhadap lingkungan). Inteligensi lebih merupakan proses daripada tempat penyimpanan informasi yang statis. Dalam hal ini Piaget memberi contoh tentang bagaimana berkembangnya pengetahuan anak tentang bola. Pengetahuan itu diperoleh melalui kegiatan-kegiatannya dalam memperlakukan bola tersebut, seperti memegang, menendang, dan melempar. Kegiatan ini merupakan contoh skema. Dengan demikian, skema itu terdiri dari dua elemen, yaitu objek yang ada di lingkungan (seperti bola) dan reaksi anak terhadap objek. (Yusuf, 2007:5)
            Piaget menyebut unit-unit struktural dengan istilah schemata (bentuk jamak dari skema). Schemata kurang lebih sama dengan proses modifikasi dan mediasi serta merupakan unit structural yang bersifat umum. Schemata merupakan mekanisme penyesuaian terhadap rangsangan-rangsangan baru. Oleh Karena itu, schemata selalu berubah bentuknya agar mampu mengadakan penyesuaian yang lebih baik. (Kusmaedi dan Husdarta, 2002:86)
            Teori Piaget mengenai perkembangan kognitif, sangat erat hubungannya dengan umur dan perkembangan moral. Konsep tersebut menunjukan bahwa aktivitas adalah sebagai unsur pokok dalam perkembangan kognitif. Pengalaman belajar yang aktif cenderung akan memajukan perkembangan kognitif, sedangkan pengalaman belajar yang pasif dan hanya menikmati pengalaman orang lain saja akan mempunyai konsekuensi yang minimal terhadap perkembangan kognitif. Teori Piaget membahas fungsi kognitif sebagai organisasi dan adaptasi serta membagi periode perkembangan kognitif ke dalam 4 tahap. (Yusuf, 2007:6)

2.            Teori Pemrosesan Informasi
            Pendekatan ini merumuskan bahwa kognitif manusia sebagai suatu sistem yang terdiri atas tiga bagian yakni:
a)      Input, yaitu proses informasi dari lingkungan atau stimulasi (rangsangan) yang masuk ke dalam reseptor pancaindera dalam bentuk penglihatan, suara, dan rasa.
b)      Proses, yaitu pekerjaan otak untuk mentransformasikan informasi atau stimulasi dalam cara beragam, yang meliputi mengolah/menyusun informasi ke dalam bentuk simbolik, membandingkan dengan informasi sebelumnya, memasukan ke dalam memori dan menggunakannya apabila diperlukan.
c)      Output, yang berbentuk tingkah laku seperti berbicara, menulis, interaksi sosial, dan sebagainya.

3.            Teori Kognisi Sosial
            Syamsu Yusuf (2007:7) mengemukakan bahwa “kognisi sosial dapat diartikan sebagai pengetahuan tentang lingkungan sosial dan hubungan interpersonal.” Model ini menekankan tentang dampak pengalaman sosial terhadap perkembangan kognitif. Tokoh dari teori ini adalah Lev Vygotsky (1886-1934), seorang ahli psikologi dari Rusia.
            Teori ini menekankan tentang kebudayaan sebagai faktor penentu perkembangan individu. Kebudayaan memberikan dua kontribusi terhadap perkembangan kognitif anak. Pertama, anak memperoleh banyak sisi pemahamannya; dan kedua, anak memperoleh banyak cara berfikir, atau alat-alat adaptasi intelektual.
            Singkatnya, kebudayaan telah mengajari anak tentang apa yang dipikirkan dan bagaimana cara berfikir. Lev Vigotsky meyakini bahwa perkembangan kognitif menghasilkan proses sosio instruksional, yang karenanya anak belajar saling tukar pengalaman dalam memecahkan masalah dengan orang lain, seperti orang tua, guru, saudara, dan teman sebaya. Perkembangan kognitif merupakan proses internalisasi terhadap kebudayaan yang membentuk pengetahuan dan alat adaptasi, yang wahana utamanya melalui bahasa atau komunikasi verbal. (Yusuf, 2007:5)

2.4       Dua Fungsi Kognitif Menurut Piaget
            Piaget mengemukakan bahwa ada dua fungsi kognitif, yaitu organisasi dan adaptasi. Dimana setiap perbuatan itu terorganisasi, dan adaptasi adalah aspek dinamis dari pengorganisasian tersebut.
1.      “Organisasi, yang merujuk kepada fakta bahwa semua struktur kognitif berinterelasi, dan berbagai pengetahuan baru harus diselaraskan ke dalam sistem yang ada.” (Yusuf, 2007:5). Dan menurut Kusmaedi dan Husdarta (2002:85) setiap orang mempunyai struktur kognitif yang mengorganisasikan pengetahuan dan perbuatannya dalam hubungannya dengan lingkungan sekitar. Dengan struktur kognitifnya, setiap orang mengorganisasikan informasi-informasi baru dan menempatkannya dalam keteraturan secara menyeluruh sehingga terbentuk suatu sistem struktur kognitif yang baru.
2.      “Adaptasi adalah suatu proses mencari keseimbangan antara yang sekarang diketahui dan difahami dengan segala sesuatu yang akan dihadapi (peristiwa, pengalaman, masalah, dsb.).” (Kusmaedi dan Husdarta, 2002:85).
Adaptasi meliputi dua proses, yakni:
a)      Asimilasi, yaitu kecenderungan untuk memahami pengalaman baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Seperti seorang anak kecil memanggil semua orang dewasa pria dengan sebutan “dady” (bapak).
b)      Akomodasi, yaitu perubahan struktur kognitif berdasarkan pengalaman baru. Ini terjadi apabila informasi yang baru itu sangat berbeda atau telalu kompleks yang kemudian diintegrasikan ke dalam struktur yang telah ada. Dapat juga diartikan sebagai “mengubah struktur kognitif yang ada untuk menyesuaikan dengan pengalaman baru”. Seperti pada masa awal perkembangan, anak cenderung untuk mengisap setiap objek yang berada di sekitarnya, namun pada akhirnya dia belajar bahwa tidak semua objek dapat diisap.
            Jadi, dalam usaha menyesuaikan diri dengan berbagai peristiwa dalam kehidupannya, orang berusaha membaurkan informasi-informasi dan pengalaman-pengalaman baru ke dalam struktur kognitifnya yang telah ada. Jika usaha ini tidak mungkin dilakukan, orang mencoba mengadaptasi informasi dan pengalaman baru tersebut dengan jalan mengubah struktur kognitifnya. Dengan jalan mengasimilasikan yang baru kepada yang lama serta dengan jalan mengakomodasikan yang lama kepada yang baru. Proses adaptasi ini berlangsung terus sepanjang hidup.
            Keadaan saling mempengaruhi antara asimilasi dan akomodasi melahirkan konsep Konstruktivisme, yaitu bahwa anak secara aktif menciptakan (mengkreasikan) pengetahuan, dalam arti anak tidak hanya menerima pengetahuan secara pasif dari lingkungannya. (Yusuf, 2007: 6).

2.5       Tahapan Perkembangan Kognitif (Menurut Teori Piaget)
            Piaget berpendapat bahwa anak tidak sama dengan orang dewasa, bukan pula orang dewasa kecil, dimana antara mereka terdapat perbedaan kualitatif. Pada setiap tingkatan perkembangan kognitif pada anak terdapat prosedur-prosedur tertentu dan berbagai keunikan di dalam fungsinya. Pada usia 18 tahun, kemampuan kognitif anak dapat berfungsi dengan cara seperti kebanyakan orang dewasa. (Kusmaedi dan Husdarta, 2002:86)
            Dalam setiap periode perkembangan, anak berusaha mencari keseimbangan antara struktur kognitifnya dengan pengalaman baru. Ketidakseimbangan memerlukan pengakomodasian baru serta merupakan transformasi ke periode berikutnya. Tiap periode berikutnya merupakan sistem pengorganisasian cara berfikir anak dan cara menghadapi masalah dengan kualitas yang lebih baik.
            Menurut Piaget, tahapan perkembangan kognitif terdiri dari:
1.            Periode Sensori Motor (0-2 tahun)
         Tahap sensori motor ditandai dengan adanya interaksi antara anak dengan lingkungan melalui berbagai alat indera dan gerakan. Perkembangan kognitif mereka terutama didasarkan pada pengalaman langsung dengan panca indera. Secara berangsur-angsur anak mulai mampu merepresentasikan realita melalui symbol dan mampu menemukan cara-cara memenuhi keinginannya serta menirukan model yang tidak segera tampak (Owens, Jr, 1984). Misalnya anak dapat menirukan gerakan tertentu, naik ke atas kursi untuk mengambil sesuatu, atau mengenal nama teman-temannya.
a)      Tingkatan ke-1, latihan skemata sensori motor (0-1 bulan)
Seorang bayi dilahirkan dengan sejumlah mekanisme sensori motor yang disebut reflex. Bayi mereaksi sinar dan suara. Tangannya mereaksi benda-benda yang menyentuh telapak tangannya, ia mengecup manakala bibirnya tersentuh, ia akan bersuara dan menggerakan lengannya terhadap rangsangan yang kuat dan masih banyak lagi reaksi bawaan seperti itu. Piaget tidak berbicara lebih lanjut tentang reaksi bawaan/reflex, karena ia mementingkan interaksi anak terhadap lingkungan sekitar. Gerak reflex seperti itu merupakan dasar bagi perkembangan fungsi yang lebih kompleks lagi.
b)      Tingkatan ke-2, reaksi sirkuler primer (1-4 bulan)
Disebut reaksi primer karena berpusat pada tubuh anak (bukan pada benda di luar anak). Dan disebut sirkuler karena reaksi itu berulang-ulang tak berkeputusan. Reaksi dalam tingkatan ini ditandai dengan variasi dalam schemata yang setelah menerima rangsangan-rangsangan kemudian terjadi koordinasi berbagai schemata secara fungsional, sehingga skema tersebut saling mengalami perkembangan. Misalnya, mendengar dan melihat pada objek yang sama, melihat dan menggapai benda yang sama, melihat dan menggapai sekaligus mengecup benda yang sama. Kemudian terjadi pengenalan atas berbagai objek karena rangsangan yang berulang-ulang. Mula-mula reaksi terhadap berbagai objek itu semuanya sama, tak ada bedanya namun kemudian ia dapat mereaksi sesuatu lebih daripada yang lain. Dalam tingkatan ini tingkah laku anak mulai berpusat pada objek, namun ada realitas objektif. Belum ada rentangan waktu, belum ada gambaran yang permanen tentang obyek-obyek. Artinya manakala obyek hilang dari pandangan, pendengaran, atau sentuhan maka hilang pula obyek tersebut dari kesadarannya. Jadi, selama dalam masa tingkatan ke-2 ini ada kemajuan dalam pengintegrasian antara pola-pola biologis/bawaan dengan kebiasaan. Piaget menamakan proses tersebut sebagai awal dari proses akomodasi dan asimilasi.
c)      Tingkatan ke-3, reaksi sirkuler sekunder (4-8 bulan)
Disebut reaksi sekunder karena merupakan kombinasi dari schemata yang telah berkembang sebelumnya. Dan disebut sirkuler karena reaksi yang berulang-ulang dan semakin kuat. Anak mulai menirukan suara dan gerakan yang telah dikenalnya berulang-ulang. Dalam tingkatan ini ada empat kategori perkembangan, yaitu:
1)      Tingkah laku anak mulai bersifat intensional.
2)      Reaksi motoriknya lebih cepat dan telah mempunyai arti, namun belum mempunyai arti mental.
3)      Obyek-obyek baru mulai diintegrasikan ke dalam struktur/schemata yang telah ada.
4)      Pengenalan terhadap benda-benda mulai tumbuh, namun terbatas pada benda-benda yang tersentuh oleh tangannya akan dicari, sedang terhadap benda yang hanya nampak di matanya hanya akan dilihat. Di samping itu anak juga mulai mengenal ruang, sehimgga telah dapat melihat hubungan benda yang satu dengan benda yang lain dan bahkan telah mampu melihat kelompok benda-benda. Ini adalah berkat meningkatnya kemampuan koordinasi dalam melihat, menggapai, dan menangkap.
d)      Tingkatan ke-4, koordinasi skemata sekunder (8-12 bulan)
Pada tingkatan ini, kategori perkembangan semakin berkembang dengan bertambahnya kemampuan kausalitas. Anak telah menirukan hal-hal yang baru serta sudah terperinci, namun anak masih belum memahami betul makna perbuatan yang ditirukannya.
1)      Tingkah laku anak sudah bersifat intensional. Cara dan tujuan telah nampak jelas bedanya. Anak telah mulai dapat menyingkirkan rintangan yang menghalangi tujuan yang hendak dicapainya. Anak telah dapat bermain dengan benda-benda dan anak telah bertingkah laku ke arah “memecahkan masalah” (artinya mampu memisahkan cara dan tujuan serta mampu melihat hubungan antara keduanya).
2)      Pada tingkatan ini anak telah mampu menggambarkan benda-benda dalam kesadarannya, atau dengan kata lain anak telah mengenal arti simbolis.
3)      Pengintegrasian benda-benda baru ke dalam skemata yang telah ada berjalan terus sejalan dengan pengalaman anak dari hari ke hari.
4)      Pengenalan terhadap benda semakin meningkat melalui berbagai cara. Anak mulai tertarik dan mampu melihat benda-benda dari berbagai sisinya. Kemampuan mengenal ruang juga semakin berkembang.
5)      Pada tingkatan ini tingkah laku anak mulai diarahkan pada pencapaian hasil perbuatannya. Misalnya menyingkirkan penghalang atau menunggu sampai ada orang lain membantunya.
e)      Tingkatan ke-5, reaksi sirkuler tersier (12-18 bulan)
Disebut reaksi tersier karena pada tingkatan ini anak mulai mengadakan “penyelidikan” untuk menemukan hal-hal/sifat-sifat yang baru dari benda-benda atau peristiwa-peristiwa. Pada tingkatan ini konsolidasi skemata motorik yang berupa ulangan kegiatan yang menimbulkan gambaran yang menarik berlangsung semakin meningkat. Anak mampu menirukan suara dan gerakan dengan lebih sempurna.
1)      Tingkah laku anak sangat intensional, bervariasi dan mencoba memanipulasi lingkungan sekitar.
2)      Simbolisasi benda-benda semakin meningkat. Begitu juga pemahaman tentang ruang dan waktu. Peristiwa-peristiwa diikuti secara beruntun.
3)      Konsepsi kausalitas dalam masa ini semakin berkembang, yaitu semakin bermacam-macam cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan. Tingkah laku anak semakin efisien.
f)        Tingkatan ke-6, penemuan cara-cara baru melalui kombinasi mental (18-24 bulan)
Tingkatan ini merupakan masa transisi ke periode selanjutnya. Anak telah mampu menirukan: model-model baru yang lebih kompleks tanpa “trial and error”, obyek-obyek lain selain manusia, dan model-model yang secara fisik tak ada di sekitarnya.
1)      Tingkah laku anak tidak lagi tergantung pada input sensoris. Dengan kata lain, eksperimentasi dan koordinasi terjadi sebelum terjadi penyesuaian dengan situasi sekitar.
2)      Simbolisasi benda-benda yang semakin meningkat berkat penguasaan ruang dan waktu memungkinkan anak mempunyai ingatan akan peristiwa-peristiwa masa lalu dan gambaran/fantasi untuk masa mendatang.
3)      Simbolisasi terjadi pula atas hubungan sebab akibat, anak tidak saja mampu membayangkan berbagai cara untuk mencapai hasil namun mampu pula membayangkan (memperkirakan) hasil yang mungkin dicapai.
g)      Peniruan dan permainan
Peniruan/imitation adalah merupakan proses akomodasi saja dari fungsi kognitif, sedangkan permainan merupakan proses asimilasi saja dari fungsi kognitif. Pada tingkatan satu belum ada peniruan maupun permainan, karena pada masa ini tingkah laku anak bersifat reflex. Namun pada tingkatan kedua, Piaget berpendapat bahwa telah ada proses meniru meskipun masih bersifat semu, yaitu pada waktu anak mengulang-ulang pola tingkah lakunya sendiri ketika orang lain menanggapinya. Piaget pun berpendapat bahwa pada masa ini anak telah bermain, yaitu manakala proses akomodasi terjadi sesudah asimilasi, misalnya pada waktu anak menggerakan kepalanya ke belakang untuk melihat benda yang telah dikenalnya.
            Piaget mengemukakan bahwa untuk memahami tingkatan-tingkatan dalam periode sensori motor perlu diingat hal-hal berikut:
Ø  Tiap anak dalam melewati tingkatan tersebut mungkin berbeda-beda kecepatannya.
Ø  Tiap tingkatan mungkin dilewati secara berurutan, mungkin pula beberapa tingkatan berlangsung serempak.
Ø  Tiap tingkatan mungkin meliputi tingkatan-tingkatan sebelumnya dan merupakan persiapan bagi tingkatan berikutnya

2.            Periode Praoperasional (2-6 tahun)
            Tahap praoperasional atau lebih dikenal dengan masa intuitif ditandai oleh berkembangnya fungsi symbol, bahasa, pemecahan masalah yang bersifat fisik, serta kemampuan mengkategorisasikan. Proses berfikir pada masa ini ditandai oleh adanya keterpusatan, tak dapat diubah, dan egosentrisme.
            Fungsi Simbolis (symbolic function subtange) adalah subtahap pertama pemikiran praoperasional yang terjadi sekitar usia 2-4 tahun. Pada subtahap ini, anak mengembangkan kemampuan untuk membayangkan secara mental suatu objek yang tidak ada. Kemampuan itu mengembangkan dunia mental anak secara cepat. Hal yang paling bisa diamati adalah anak kecil menggunakan desain corat coret untuk menggambarkan manusia, rumah, mobil, awan, dan lain lain. Anak sering bertanya, mencari dan menyelidiki sendiri. Anak mulai bertanya “mengapa” dan “bagaimana” tentang tiap hal atau peristiwa. Masa ini disebut masa “pra konseptual”
            Tahun-tahun berikutnya (4-6 tahun) berkembang penalaran secara “intuitif”, yaitu penalaran yang terjadi secara spontan tanpa pertimbangan rasional maupun intensional. Oleh karenanya pendapat/pikiran anak bersifat lepas-lepas dan tidak konsisten. Penalaran anak didasarkan pada apa yang dilihatnya saja. Perkembangan berikutnya dari masa ini adalah kemampuan anak untuk memahami beberapa pengertian baru yaitu tentang jumlah, berat, dan isi (usia 5-6 tahun). Permainan anak tidak hanya bermain menirukan perbuatan orang lain tetapi juga mengajak temannya. Fantasi anak menguasai penalarannya, misalnya benda-benda mainannya dianggap hidup sesuai dengan fantasinya.
            Menurut Kusmaedi dan Husdarta (2002:90) pada masa perkembangan ini, telah terlihat perbedaan perkembangan kognitif anak dengan orang dewasa. Ada beberapa perbedaan antara perkembangan kognitif anak dengan orang dewasa, diantaranya:
a)      Kekonkritan, bila dibandingkan dengan orang dewasa perkembangan kognitif anak dalam periode ini masih berpusat pada hal-hal yang konkrit. Penalaran anak masih bersifat “coba-coba mental”, belum mampu mengadakan analisis maupun sintesis.
b)      Kesearahan penalaran, pada masa ini penalaran anak baru searah, belum dua arah. Anak belum mampu berpikir logis dan matematis.
c)      Egosentrisme (egocentrism) adalah suatu ciri pemikiran praoperasional yang menonjol. Egosentrisme adalah suatu ketidakmampuan untuk membedakan perspektif diri dengan perspektif oranglain. Anak belum memiliki kemampuan untuk merasakan apa yang dirasakan, dilihat dan dipikirkan oleh orang lain. Ia lebih cenderung untuk melihat sesuatu dari sudut padang dirinya sendiri.. Kemampuan tersebut akan dapat dicapai melalui interaksi yang berulang-ulang dengan orang lain.
d)     Pemusatan perhatian, anak cenderung memusatkan perhatian pada satu hal atau peristiwa saja. Ini disebabkan anak belum mampu membagi perhatiannya pada banyak hal sekaligus, sehingga anak sering tak bisa memecahkan masalahnya.
e)      Perhatian yang putus-putus/tak ada kebulatan, kecuali perhatian yang mengkhusus. Perhatian anak pada masa ini bersifat putus-putus (lepas-lepas), belum bersifat transformasional (berkelanjutan). Anak belum mampu mengintegrasikan hal-hal yang diperhatikan secara lepas ke dalam suatu kebulatan.
f)       Penalaran anak pada masa ini masih bersifat transduktif (dari khusus ke khusus), belum mampu berpikir induktif maupun deduktif sebagaimana penalaran orang dewasa. Penalaran anak masih bersifat kasar, kaku, kurang jernih, dan kurang cepat.

3.            Periode Operasi Konkret (6-11 tahun)
            Tahap opersi konkret ditandai oleh proses berfikir yang masih tergantung pada hal-hal yang bersifat konkret atau bersifat fisik, di samping sudah mampu membuat kategori berdasarkan hierarki. Piaget mengartikan istilah “operasi” sebagai suatu perbuatan yang dapat diulangi lagi dari permulaan serta yang dapat diintegrasikan dengan perbuatan-perbuatan yang lain.
            Pada masa ini penalaran anak tidak lagi bersifat impresif, melainkan telah bersifat operasional. Anak telah mampu berfikir runtut dan logis. Anak telah mampu menyerap informasi-informasi secara selektif dan intensional. Ada beberapa kemampuan yang berkembang secara kualitatif dalam masa ini, yaitu:
a)      Kombinasi atau klasifikasi, pada masa ini anak telah mampu mengadakan pengelompokan atas berbagai hal (yang bersifat konkrit) dalam himpunan tertentu. Anak memahami pula bahwa dari himpunan yang kecil dapat pula dikelompokan dalam himpunan yang lebih besar. Misalnya kelompok anak laki-laki (kelompik kecil), kelompok anak wanita (kelompok kecil), kelompok anak-anak (kelompok besar). Dengan kata lain anak telah mampu melihat dan memahami bagian-bagian dari suatu keseluruhan.
b)      Reversibilitas, ini adalah kemampuan berfikir logis atau matematis atau penalaran arah. Dalam perbuatan (konkrit) anak telah mampu berbuat sesuatu dan mengembalikannya dalam kondisi semula. Perkembangan penalaran dua arah biasanya bersamaan dengan perkembangan pemahaman tentang dimensi dan hubungan antar dimensi (panjang, lebar, tinggi). Prinsip reversibilitas dan pemahaman tentang dimensi ini memudahkan anak melakukan konservasi dan penalaran logis tanpa terpengaruh oleh hal-hal yang nampak luar ataupun modifikasi daripadanya. Misalnya, kalau kelompok anak laki-laki digabung dengan anak wanita menjadilah kelompok anak-anak. Kemudian kalau kelompok anak wanita mengundurkan diri, maka tinggalah kelompok anak laki-laki saja. Atau contoh lainnya jika 7 + 3 = 10, maka 10 - 7 = 3.
c)      Asosiasi, adalah kemampuan untuk melihat, menemukan, dan memilih berbagai cara untuk memberi jawaban atau mencapai tujuan secara matematis. Anak telah dapat memahami bahwa suatu jumlah tidak tergantung pada susunannya. Misalnya (1 + 3) + 5 = 1 + (3 + 5).
d)     Identitas, ini juga merupakan penalaran yang bersifat matematis, yaitu mengenai unsur “nihil” yang kalau digabungkan dengan unsur atau kelompok yang manapun hasilnya tak akan membuat perubahan apapun. Misalnya 10 + 0 = 10. Dan dapat juga dinihilkan apabila digabungkan dengan jumlah sebaliknya, 10 – 10 = 0. Atau secara konkrit, apabila orang berjalan 1 km ke arah utara dan kemudian kembali lagi 1 km ke arah selatan, maka ia akan kembali lagi ke tempat semula.
e)      Konversi atau kemampuan pemahaman, pada masa ini meningkat ke arah pemahaman tentang jumlah besar kecil, berat dan isi (volume) dalam kondisi yang berubah-ubah, sehingga pemahaman anak tidak lagi terpengaruh oleh hal-hal yang nampak luar ataupun modifikasi daripadanya.
f)       Tata urutan, konsep tata urutan adalah kemampuan menyusun obyek-obyek berdasar dimensi kualitatif (panjang, lebar, tinggi, berat). Dengan kata lain, kemampuan menata benda-benda secara berurutan dari yang paling kecil sampai yang paling besar. Kemampuan ini telah dimiliki anak sejak usia 7 tahun. Akan tetapi kemampuan tersebut masih bersifat konkrit, tanpa menyadari atau memahami prinsipnya. Anak tahu bahwa Rp 100, lebih banyak dari Rp 50, dan Rp 50 lebih besar dari Rp 25. Namun jika jumlah uang tersebut diabstraksikan A lebih besar daripada B dan B lebih besar daripada C, maka anak masih mengalami kesulitan memahami apakah betul A lebih besar daripada C.
            Anak belum mengenal teori atau hipotesa. Tuhan pun dipahami dengan jalan mengkonkritkannya. Berkat perkembangan kemampuan memahami kombinasi (klasifikasi), reversibilitas, asosiasi, identitas, konversi dan tata urutan, maka egosentrisme akan semakin berkurang. Dengan kata lain, penalaran anak tidak lagi dipusatkan pada dirinya melainkan beralih pada obyek-obyek atau peristiwa-peristiwa yang ada/terjadi di sekitarnya. Dengan demikian anak telah mampu memperhatikan hal-hal di luar dirinya dan tidak lagi secara khusus dan putus-putus, melainkan sudah agak menyeluruh dan berkelanjutan. Mobilitas penalaran ini memungkinkan anak semakin mampu memahami dan menerima pendapat orang lain. Ini mengembangkan pemilikan tujuan bersama, tanggung jawab dan kerja sama pada anak-anak. Anak pun mulai tertarik pada permainan yang ada aturannya. Dengan kata lain egosentrisme pun semakin berkurang dalam hal hubungan sosial.
            Masih ada beberapa hal yang mengalami perkembangan, yaitu pemahaman mengenai permukaan air, waktu, gerakan dan kecepatan. Pada masa ini mulai usia 9 atau 10 tahun anak telah mengerti bahwa permukaan air selalu horizontal. Pemahaman waktu, gerakan dan kecepatan pun tak lagi terpengaruh oleh kondisi yang bersifat nampak luar dan khusus. Pemahaman tentang waktu, gerakan dan tempo saling tergantung. Untuk memahami waktu diperlukan pemahaman tentang gerakan dan tempo. Sebaliknya untuk memahami tempo diperlukan pemahaman tentang waktu.

4.            Periode Operasi Formal (12-18 tahun)
            Menurut Kusmaedi dan Husdarta (2002:92), setiap periode dalam perkembangan kognitif semakin kompleks dan berdiferensiasi. Setiap perubahan aspek kognitif menjadi semakin baik dan maju terus (progresif) sehingga periode demi periode akan dicapai oleh anak. Periode operasi ini disebut “formal” karena pada masa ini anak telah mampu berfikir logis dan abstrak. Dalam penalaran, anak tidak lagi menggunakan bahan-bahan konkrit, melainkan verbal. Anak telah mampu berfikir teoritis dan hipotetis. Tingkah laku anak bersifat memecahkan masalah dan semakin sistematis. Mereka telah mampu menarik kesimpulan, membuat interpretasi dan hipotesa. Penalaran anak didasarkan pada pendapat-pendapat yang logis. Anak pun telah mampu berfikir deduktif dan induktif.
            Pada masa ini pun anak kadang-kadang terlalu idealistis sehingga mengarah pada perfeksionisme. Mereka bangga dengan kekuatan pikirannya yang merasa mampu “mengubah” dunia dan masa depan. Pikiran anak penuh dengan ide-ide dari masa lalu., masa kini dan masa depan. Mereka merasa mampu membuat hipotesa masa depan dan mengkajinya (dalam pikiran) segaligus. Dengan kata lain pikiran anak penuh dengan teori-teori tentang dirinya dan kehidupan, penuh dengan rencana-rencana untuk dirinya dan masyarakat yang akan datang, penuh dengan pemikiran yang melayang jauh ke depan.
            Anak menjadi introspektif dan kritis terhadap dirinya sendiri. Mereka juga mulai memikirkan nilai-nilai dan tingkah laku yang ada pada generasi tua. Mereka sering mengeluarkan pendapat tentang moralitas. Perkembangan kognitif memang sejalan dengan perkembangan moral anak. Pemahaman mereka tentang kaidah-kaidah dan adat istiadat yang ada dalam masyarakat pada tiap periode, sesuai dengan tingkat/kualitas pemahaman mereka tentang moralitas pada tiap periode mempunyai struktur sendiri-sendiri.


DAFTAR PUSTAKA


Kusmaedi, Nurlan dan Husdarta. (2002). Pertumbuhan Dan Perkembangan Peserta Didik. Bandung: UPI.
Wardani. (1997). Perkembangan Peserta Didik. Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Yusuf, Syamsu. (2007). Psikologi Perkembangan Anak & Remaja. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Yusuf, Syamsu. et al. (1992). Psikologi Kependidikan. Bandung: CV Andira.
Tersedia: http://makalahdanskripsi.blogspot.com/2009/03.

1 komentar:

  1. Assallamu’alaikum Wr. Wb.
    Hai Friend, apa khabar?
    Terimakasih atas informasinya tentang perkembangan kognitif.

    Oh yaa...
    Saya buat postingan baru nich.
    Kalau sempat silahkan mampir di blog saya, yaa…
    http://sosiomotivation.blogspot.com
    Kita bisa berbagi tentang motivasi.
    Selamat menikmati, semoga bermanfaat.
    Thanks.

    BalasHapus