Wilujeng sumping kasadayana mugia aya mangfaatna

Jumat, 30 Desember 2011

FAKTOR LINGKUNGAN MASYARAKAT DALAM PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Nature dan nurture merupakan isu dasar yang menjadi perdebatan sengit dalam psikologi perkembangan. Nature (alam, sifat dasar) dapat diartikan sebagai sifat khas seseorang yang dibawa sejak kecil atau yang diwarisi sebagai sifat pembawaan. Sedangkan nurture (pemeliharaan, pengasuhan) dapat diartikan sebagai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi individu sejak dari masa pembuahan sampai selanjutnya. Chaplin (dalam Desmita, 2009:82).

 Namun makin disadari bahwa apa yang  dipikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, atau dewasa, merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan.
Secara genetik, anak diyakini telah memiliki bawaan-bawaan tertentu sebagai potensi dasar untuk berkembang. Namun, bagaimana potensi-potensi bawaan itu berkembang tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan tempat individu berkembang. Pengaruh-pengaruh interaktif bawaan lingkungan inilah yang akan menentukan proses perkembangan anak.
Ada tiga lingkungan perkembangan yang lazim kita kenal, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam konteks pendidikan, tiga macam lingkungan itu dikenal sebagai tripusat pendidikan. Masing-masing lingkungan perkembangan di atas memberikan kontribusi tertentu terhadap perkembangan anak. Namun, bentuk pengaruh dari masing-masing lingkungan tersebut tidak bisa dipilah-pilah secara pasti. Dalam hal ini kita diharapkan dapat memahami proses interaktif yang terjadi pada masing-masing lingkungan tersebut serta kemungkinan-kemungkinan pengaruhnya terhadap perkembangan anak.
Oleh karena itu, kami ingin memiliki pengetahuan yang memadai mengenai faktor lingkungan masyarakat terhadap perkembangan peserta didik.


1.2    Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis merumuskan beberapa masalah, di antaranya sebagai berikut.
1.      Bagaimana hubungan antara lingkungan masyarakat dengan lingkungan perkembangan lainnya?
2.      Bagaimana pengaruh pergaulan dengan teman sebaya terhadap perkembangan peserta didik?
3.      Bagaimana pengaruh persahabatan terhadap perkembangan peserta didik?
4.      Bagaimana pengaruh media informasi terhadap perkembangan peserta didik?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini di antaranya:
1.      Mengetahui hubungan antara lingkungan masyarakat dengan lingkungan perkembangan lainnya.
2.      Mengetahui pengaruh pergaulan dengan sebaya terhadap perkembangan peserta didik.
3.      Mengetahui pengaruh persahabatan terhadap perkembangan peserta didik.
4.      Mengetahui pengaruh media informasi terhadap perkembangan peserta didik.

1.4    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: Makalah ini terdiri dari tiga Bab. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II berisi pembahasan yang membahas tentang lingkungan masyarakat, hubungan dengan teman sebaya, dan pengaruh media informasi, yang selanjutnya Bab III berisi kesimpulan.





BAB II
ISI

2.1    Lingkungan Masyarakat
Masyarakat tempat anak-anak hidup dan bergaul dengan anak-anak dan orang dewasa lainnya juga merupakan lingkungan perkembangan yang memiliki peran dan pengaruh tertentu dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Di sana mereka bergaul, melihat orang-orang berperilaku, menyaksikan berbagai peristiwa, dan di sana pula mereka menemukan sejumlah aturan dan tuntutan yang seharusnya dipenuhi oleh yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman interaksional anak pada masyarakat ini akan memberi kontribusi tersendiri dalam pembentukan perilaku dan perkembangan pribadi anak.
Bila dihubungkan dengan lingkungan rumah dan sekolah, lingkungan masyarakat itu bisa mendukung apa yang dikembangkan di rumah dan di sekolah, tetapi bisa pula sebaliknya. Sebagai contoh, lingkungan masyarakat pesantren yang pada masyarakat itu dijungjung tinggi nilai-nilai agama merupakan suatu lahan yang subur bagi keluarga dan anak untuk membina kehidupan berperilaku agama, lingkungan masyarakat akademik merupakan lahan yang subur untuk menumbuhkan minat akademik anak, begitu pula lingkungan masyarakat bisnis merupakan lingkungan yang subur untuk menumbuhkan minat bisnis anak-anak. Dengan demikian, jika rumah dan sekolah mengembangkan suatu budaya atau nilai tertentu yang relevan dengan apa yang berkembang di masyarakat, maka kecenderungan pengaruhnya akan saling mendukung sehingga peluang pencapaiannya akan sangat besar.
Namun tidak selamanya budaya-budaya baik yang dikembangkan di rumah dan di sekolah itu sejalan dengan apa yang terjadi di masyarakat. Sementara di rumah dan di sekolah tidak pernah di ajarkan untuk mencuri, untuk berkelahi, menghianati orang lain, dan sebagainya akan tetapi semua hal itu di masyarakat terjadi. Kondisi demikian tentunya akan menimbulkan sejumlah pertanyaan, sikap kritis, dan bahkan mungkin kebingungan pada diri anak. Di sinilah perlunya ikatan psikologis yang kuat antara keluarga dengan anak sehingga keluarga tetap dipercaya sebagai tempat yang baik untuk membicarakan dan memahami berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Berbeda dengan kasus keluarga dan sekolah, di lingkungan masyarakat susah menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab. Di rumah, orangtua bisa didudukkan sebagai orang yang paling bertanggung jawab, di sekolah guru juga bisa diposisikan sebagai orang yang paling bertanggung jawab, tapi di masyarakat tidak ada yang bertanggung jawab. Sekalipun di masyarakat ada tokoh masyarakat, tokoh agama, penguasa, dll namun posisi mereka sangat berbeda dengan orangtua di rumah dan guru di sekolah. Karena itu pada akhirnya tanggung jawab itu akan kembali kepada masing-masing keluarga juga. Masyarakat adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan individu-individu yang hidup di sana. Baik-tidaknya suatu masyarakat akan tergantung kepada keluarga-keluarga yang membangun masyarakat yang bersangkutan.
Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya keluarga atau orang tua jugalah yang diharapkan dapat membantu anak sehingga mereka bisa memahami persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi dan mampu menyesuaikan diri secara positif. Di sini orang tua perlu menjaga keakraban hubungan dengan anak, di samping menyampaikan pemahaman-pemahaman yang tepat tentang berbagai fenomena kehidupan yang dialami dan disaksikan oleh anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak yang bersangkutan.

2.2    Hubungan dengan  Teman Sebaya
Tidak berlebihan kiranya kalau Hartub, dkk. (dalam Desmita, 2009) menulis “The social relations of children and adolescents are centered on their friends as well as their families,”  sebab bagaimanapun bagi anak usia sekolah, teman sebaya (peer) mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orang tua. Teman bisa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebaya. Berikut ini akan diuraikan beberapa aspek perkembangan hubungan peserta didik dengan teman sebayanya.
a.       Karakteristik hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya.
Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright dalam Desmita (2009:224) mencatat bahwa:
anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10 % dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20 %. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40 % waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.

b.      Pembentukan kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah ini terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”. Pada masa itu, anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anak memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temanya.
Dalam menentukan sebuah kelompok teman, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-sama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik, bermain game, dan melucu. Tinggal di lingkungan yang sama , bersekolah di sekolah yang sama, dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang sama, merupakan dasar bagi kemungkinan terbentuknya kelompok teman sebaya.
Krasnor dalam Desmita (2009:225) mencatat bahwa:

Adanya perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada anak usia sekolah. Ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari pada kelompok bermain; mereka memiliki sedikit peraturan dan tidak terstruktur untuk menjelaskan peran dan kemudahan berinteraksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Sekarang anak-anak berkumpul menurut minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau perkumpulan dengan aturan-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti; masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, dan yang bukan anggota dikeluarkan.

c.    Popularitas, Penerimaan Sosial, dan Penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Hal ini terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang telah memiliki stereotip budaya tentang tubuh. Misalnya saja dalam hal ini mereka menilai bahwa anak laki-laki yang tegap (berotot) lebih disenangi dari pada anak laki-laki yang gemuk atau kurus. Kemudian, pemilihan teman dari anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas pribadi, seperti kejujuran, kebaikan hati, humor, dan kreativitas.   
Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari pembentukan kelompok teman sebaya dan status dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para peneliti juga telah melakukan penelitian untuk menentukan mana anak-anak yang sering sendiri dan mana anak yang disenangi oleh anak-anak lain. Dalam penelitian ini, mereka telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri (Hallinan, 1981), yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan penerimaan sosial anak di antara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam suatu organisasi (misalnya dalam ruang kelas), tentang mana anak-anak yang pantas dikelompokkan sebagai “teman baik”, yang “paling disukai oleh anak-anak lain”, atau yang “kurang disukai”. Atas dasar jawaban-jawaban dari anak-anak tersebut, para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok, atau bagaimana perasaan masing-masing anak dalam suatu kelompok terhadap anak-anak lain. Sosiogram ini menentukan mana anak-anak yang diterima oleh anak-anak lain, mana yang diterima sedikit teman sekelas, dan mana anak yang tidak diterima oleh seorang pun. Berdasarkan informasi ini, kemudian peneliti membedakan anak-anak atas dua, yaitu anak yang populer dan anak yang tidak populer .
·         Anak yang Populer
      Popularitas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup, 1983 (dalam Desmita, 2009) mencatat bahwa anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara sosial, dan sangat mudah bekerjasama dengan orang lain.  Asher et al., 1982 (dalam Desmita, 2009), juga mencatat bahwa anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang kooperatif, prososial, serta selaras dengan norma-norma kelompok. Popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik. Anak-anak lebih menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat cerdas dan yang sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler & Stevenson, 1993).
·         Anak yang tidak Populer
      Anak yang tidak populer dibedakan atas dua tipe, yaitu: anak-anak yang ditolak dan anak-anak yang diabaikan. Anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak adalah anak yang tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat mengganggu, egois, dan mempunyai sedikit sifat-sifat positif.
      Anak-anak yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhatian atau ketidak dewasaan, sehingga sering bermasalah dalam perilaku dan akademis di sekolah (Putallaz & Waserman, 1990). Akan tetapi tidak semua anak-anak yang ditolak bersifat agresif. Meskipun perilaku agresif inpulsif dan mengganggu, mereka sering menjadi penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira-kira 10% hingga 20 % anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang pemalu (Santrock, 1996).
Di samping mempunyai kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan anak, teman sebaya pun dapat memberikan pengaruh buruk bagi mereka.  Keadaan ini terungkap dari hasil-hasil penelitian berikut:
·      Healy dan Browner menemukan bahwa 67% dari 3000 anak nakal di Chicago, ternyata karena mendapat pengaruh dari teman sebayanya.
·      Glueck menemukan bahwa 98,4% dari anak-anak nakal adalah akibat pengaruh anak-anak lainnya, dan hanya 74% saja dari anak yang tidak nakal berkawan dengan yang nakal (M. Arifin, 1978:131).

Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap anak itu ternyata berkaitan dengan iklim keluarga anak itu sendiri. Anak yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan anak yang hubungan dengan orangtuanya kurang baik. Judith Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orangtua dengan anak yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman dan Shaffer, 1995: 380).

2.3    Persahabatan
Dalam lingkungan masyarakat, anak-anak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab yang biasa disebut dengan istilah persahabatan. Santrock, 1998 (dalam Desmita, 2009) mencatat karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban dan kesamaan .Keakraban dapat diartikan sebagai penyingkapan diri dari berbagai pemikiran pribadi. Keakraban  ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat, Hartub, 1989 (dalam Desmita, 2009) dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka, Bert & Perry, 1990 (dalam Desmita, 2009). Anak juga lebih bersedia berbagi dengan sahabat, meskipun terkadang terjadi situasi persaingan, sehingga menurunkan kesediaan mereka untuk berbagi dengan sahabat.
Meskipun demikian, persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak. Rubin, 1980 (dalam  Desmita, 2009) mencatat:
1.       Sahabat memberikan kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan  tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga anak memperoleh pengalaman belajar untuk mengenali kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2.       Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena anak biasanya menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3.       Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi penting. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu, tetapi juga mencakup adanya peran-peran, partisipasi kolektif, dan dukungnan kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Sementara itu, Santrock, 1998 (dalam Desmita, 2009) mencatat enam fungsi penting dari persahabatan, diantaranya:
1.       Sebagai kawan, dimana persahabatan memberi anak seorang teman yang akrab, teman yang bersedia meluangkan waktu bersama mereka dan bergabung dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersama.
2.       Sebagai pendorong, dimana persahabatan memberikan pada anak informasi-informasi yang menarik, kegembiraan dan hiburan.
3.       Sebagai dukungan fisik, dimana persahabatan memberikan waktu, kemampuan-kemampuan, dan pertolongan.
4.       Sebagai dukungan ego, dimana persahabatan menyediakan harapan atau dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu anak mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik, dan berharga.
5.       Sebagai perbandingan sosial, dimana persahabatan menyediakan informasi tentang bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, dan apakah anak melakukan sesuai dengan baik.
6.       Sebagai pemberi keakraban dan perhatian, dimana persahabatan memberi anak-anak suatu hubungan yang hangat, erat, saling mempercayai dengan anak lain, yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.

Persahabatan merupakan salah satu fenomena interaksi sosial yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8 tahun, terutama anak perempuan, biasanya telah memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang berbeda. Ada teman naik sepeda, teman yang suka menemani waktu istirahat sekolah, teman di tempat les, dll. Pada umumnya hubungan pertemanan ini masih bersifat sederhana dan saling tak tergantung. Oleh karena itu, tak jarang persahabatan datang dan pergi hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, anak usia 10 tahunan mulai lebih memperhatikan kualitas hubungan persahabatannya. Mereka sudah lebih terampil bersosialisasi, sudah dapat menghargai nilai kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada usia ini emosi anak sudah mulai cukup matang untuk berempati, sehingga mereka juga mulai mencoba untuk berbagi rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu. Dibandingkan pada usia sebelumnya, kualitas persahabatan pada usia ini lebih kompleks dan berlangsung lama.


2.4    Pengaruh Media Informasi
Dekade akhir-akhir ini sering disebut sebagai era informasi. Ini mengidentifikasikan betapa dominannya peran media informasi dalam kehidupan dewasa ini. Kita sekarang bisa menyaksikan betapa berjamurnya televisi-televisi swasta, ditambah lagi dengan parabola, internet, dan semacamnya. Semua itu bisa memberikan pengaruh positif bagi anak, khususnya dalam mengkondisiskan anak berburu informasi atau pengetahuan.
Karena banyak unsur hiburannya, anak-anak pun tampaknya semakin akrab dengan tayangan-tayangan televisi. Dibanding dengan jam belajarnya di rumah, jumlah jam untuk nonton televisi umumnya jauh lebih banyak. Suatu penelitian terhadap anak-anak remaja di Bandung, Budimasyah, dkk. (dalam Semiawan, 1999), menginformasikan bahwa jumlah jam nonton televisi setiap harinya rata-rata sekitar 6 jam lebih. Jumlah jam ini diperkirakan kurang lebih sama dengan anak-anak usia SD. Karena saking akrabnya anak-anak sekarang dengan televisi, kebanyakan sekarang mereka sudah hafal acara-acara kesayangannya setiap hari di televisi.
Sayangnya, tidak semua tayangan-tayangan tontonan itu cocok ditonton oleh anak. Beberapa di antaranya bahkan ada yang bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Bukan hanya jam belajarnya yang berkurang, tetapi lebih parah lagi dapat merangsang berkembangnya perilaku-perilaku negatif pada anak. Betsch dan Dickenberger, 1993 (dalam Semiawan, 1999) mencatat bahwa anak-anak yang biasa menonton film yang agresif cenderung berperilaku agresif pula.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rasanya tidak mungkin bagi orangtua untuk mengasingkan anak dari dunia televisi. Di samping hal itu tidak manusiawi, waktu dan kesempatan orangtua untuk meperhatikan anak juga sangat terbatas. Karena itu ada baiknya kalau saran-saran dari Dorothy dan Singer (dalam Semiawan, 1999) mencatat masukan dalam membimbing anak dalam menonton televisi.
  1. Kembangkan kebiasaan menonton yang baik sejak awal kehidupan anak.
  2. Doronglah anak untuk menonton program-program khusus secara terencana, bukan menonton sembarang program. Aktiflah bersama anak di saat menonton program-program yang terencana tersebut.
  3. Carilah program-program yang menonjolkan peran anak dalam kelompok usianya.
  4. Menonton televisi hendaknya tidak digunakan sebagai pengganti dari kegiatan-kegiatan lain.
  5. Lakukanlah pembicaraan dengan anak tentang tema-tema televisi yang sensitif. Berilah mereka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang program-program itu.
  6. Seimbangkan antara aktivitas membaca (belajar) dan menonton televisi. Anak-anak dapat menindaklanjuti program-program televisi yang menarik dengan mengeceknya pada buku-buku yang berkenaan dengan program-program yang ditonton tersebut.
  7. Bantulah anak dalam mengembangkan jadwal menonton yang seimbang antara program pendidikan, aksi, komedi, seni, fantasi, olahraga, dll.
  8. Tunjukkan contoh-contoh positif yang menunjukan bagaimana etnik yang bervariasi dan kelompok budaya berkontribusi dalam menciptakan suatu masyarakat yang lebih baik.
  9. Tunjukkan contoh-contoh positif dari wanita yang kompeten baik di rumah maupun dalam profes

BAB III
IMPLIKASI FAKTOR LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN

Dalam situasi sekolah, gen-gen mungkin dapat dilihat sebagai bagian dari dunia nyata anak-anak. Meskipun demikian, bagi seseorang yang bekerja secara dekat dengan anak-anak dan remaja, kekuatan dan kelemahan dari pengaruh genetik ini adalah penting untuk dipahami. Seorang guru misalnya, perlu memahami sifat-sifat dan perbedaan-perbedaan individual. Di samping itu, pemahaman tentang dampak faktor-faktor lingkungan terhadap perkembangan anak, akan memberi pendidik suatu pertimbangan yang optimistis tentang potensi-potensi yang penting ditumbuhkembangkan dalam diri semua peserta didik. McDevitt dan Ormrod (2002) merekomendasikan beberapa hal penting yang perlu dilakukan guru dalam menyikapi pengaruh lingkungan bagi perkembangan anak, di antaranya:
1.      Memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan individual anak. Guru yang menghargai berbagai karakteristik fisik, tipe-tipe kepribadian dan bakat-bakat mereka, dapat membuat peserta didik menjadi senang. Anak-anak yang tinggi dan pendek, gemuk dan kurus, yang serasi dan kikuk, yang sedih dan ceria, yang kalem dan pemarah, semuanya harus mendapat tempat yang benar dalam hati guru.
2.      Menyadari bahwa sebenarnya faktor lingkungan masyarakat mempengaruhi setiap aspek perkembangan. Gen-gen mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan fisiologis dan pengaruh yang sedang terhadap karakteristik psikologis yang kompleks. Meskipun demikian, perkembangan dan belajar harus dipandang sebagai suatu hasil pertumbuhan biasa dari aspek biologis yang sangat berpengaruh terhadap anak. Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi anak melalui banyak cara, seperti melalui layanan pengajaran dan bimbingan. Anak-anak yang secara genetik memilki kecenderungan untuk menjadi seorang yang mudah marah atau agresif, dapat dilatih dan dibimbing menjadi seorang yang lebih adaptif dan memperlihatkan tingkah laku prososial.
3.      Mendorong siswa menentukan pilihan-pilihan sendiri untuk meningkatkan pertumbuhan. Misalnya, untuk tumbuh menjadi lebih dewasa, anak-anak harus aktif mencari lingkungan-lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan kemampuan naturalnya, dan guru mengambil posisi kunci untuk menolong mereka menemukan aktivitas dan sumber-sumber yang memungkinkan mereka menggunakan dan mengembangkan bakat-bakat mereka.



 BAB IV
KESIMPULAN

Masyarakat adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan individu-individu yang hidup di suatu daerah. Baik-tidaknya suatu masyarakat akan tergantung kepada keluarga-keluarga yang membangun masyarakat yang bersangkutan.
Lingkungan masyarakat memiliki peran dan pengaruh tertentu dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Pengalaman-pengalaman interaksional anak pada masyarakat ini akan memberi kontribusi tersendiri dalam pembentukan perilaku dan perkembangan pribadi anak. Jika dihubungkan dengan lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat bisa mendukung apa yang dikembangkan di keluarga dan di sekolah. Jika keluarga dan sekolah mengembangkan suatu budaya atau nilai yang relevan dengan apa yang dikembangkan di masyarakat, maka kecenderungan pengaruhnya akan saling mendukung sehingga peluang pencapaiannya akan sangat besar.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat terhadap perkembangan peserta didik, di antaranya hubungan dengan teman sebaya, persahabatan, dan pengaruh media informasi. Tiga hal ini dapat memberikan pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan anak. Oleh karena itu, dalam pergaulan peserta didik di lingkungan masyarakat, keluarga atau orangtualah yang diharapkan dapat membantu anak untuk bisa memahami persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi dan mampu menyesuaikan diri secara positif.









DAFTAR PUSTAKA

Darwis, Abu. 2006. Pengubahan Perilaku Menyimpang Murid Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Semiawan, Conny R. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yusuf, Syamsu. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar