Wilujeng sumping kasadayana mugia aya mangfaatna

Jumat, 30 Desember 2011

FAKTOR LINGKUNGAN MASYARAKAT DALAM PERKEMBANGAN PESERTA DIDIK

BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
Nature dan nurture merupakan isu dasar yang menjadi perdebatan sengit dalam psikologi perkembangan. Nature (alam, sifat dasar) dapat diartikan sebagai sifat khas seseorang yang dibawa sejak kecil atau yang diwarisi sebagai sifat pembawaan. Sedangkan nurture (pemeliharaan, pengasuhan) dapat diartikan sebagai faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi individu sejak dari masa pembuahan sampai selanjutnya. Chaplin (dalam Desmita, 2009:82).

 Namun makin disadari bahwa apa yang  dipikirkan dan dikerjakan seseorang, atau apa yang dirasakan oleh seorang anak, remaja, atau dewasa, merupakan hasil perpaduan antara apa yang ada di antara faktor-faktor biologis yang diturunkan dan pengaruh lingkungan.
Secara genetik, anak diyakini telah memiliki bawaan-bawaan tertentu sebagai potensi dasar untuk berkembang. Namun, bagaimana potensi-potensi bawaan itu berkembang tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan tempat individu berkembang. Pengaruh-pengaruh interaktif bawaan lingkungan inilah yang akan menentukan proses perkembangan anak.
Ada tiga lingkungan perkembangan yang lazim kita kenal, yaitu lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam konteks pendidikan, tiga macam lingkungan itu dikenal sebagai tripusat pendidikan. Masing-masing lingkungan perkembangan di atas memberikan kontribusi tertentu terhadap perkembangan anak. Namun, bentuk pengaruh dari masing-masing lingkungan tersebut tidak bisa dipilah-pilah secara pasti. Dalam hal ini kita diharapkan dapat memahami proses interaktif yang terjadi pada masing-masing lingkungan tersebut serta kemungkinan-kemungkinan pengaruhnya terhadap perkembangan anak.
Oleh karena itu, kami ingin memiliki pengetahuan yang memadai mengenai faktor lingkungan masyarakat terhadap perkembangan peserta didik.


1.2    Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini penulis merumuskan beberapa masalah, di antaranya sebagai berikut.
1.      Bagaimana hubungan antara lingkungan masyarakat dengan lingkungan perkembangan lainnya?
2.      Bagaimana pengaruh pergaulan dengan teman sebaya terhadap perkembangan peserta didik?
3.      Bagaimana pengaruh persahabatan terhadap perkembangan peserta didik?
4.      Bagaimana pengaruh media informasi terhadap perkembangan peserta didik?

1.3    Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini di antaranya:
1.      Mengetahui hubungan antara lingkungan masyarakat dengan lingkungan perkembangan lainnya.
2.      Mengetahui pengaruh pergaulan dengan sebaya terhadap perkembangan peserta didik.
3.      Mengetahui pengaruh persahabatan terhadap perkembangan peserta didik.
4.      Mengetahui pengaruh media informasi terhadap perkembangan peserta didik.

1.4    Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: Makalah ini terdiri dari tiga Bab. Bab I Pendahuluan berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II berisi pembahasan yang membahas tentang lingkungan masyarakat, hubungan dengan teman sebaya, dan pengaruh media informasi, yang selanjutnya Bab III berisi kesimpulan.





BAB II
ISI

2.1    Lingkungan Masyarakat
Masyarakat tempat anak-anak hidup dan bergaul dengan anak-anak dan orang dewasa lainnya juga merupakan lingkungan perkembangan yang memiliki peran dan pengaruh tertentu dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Di sana mereka bergaul, melihat orang-orang berperilaku, menyaksikan berbagai peristiwa, dan di sana pula mereka menemukan sejumlah aturan dan tuntutan yang seharusnya dipenuhi oleh yang bersangkutan. Pengalaman-pengalaman interaksional anak pada masyarakat ini akan memberi kontribusi tersendiri dalam pembentukan perilaku dan perkembangan pribadi anak.
Bila dihubungkan dengan lingkungan rumah dan sekolah, lingkungan masyarakat itu bisa mendukung apa yang dikembangkan di rumah dan di sekolah, tetapi bisa pula sebaliknya. Sebagai contoh, lingkungan masyarakat pesantren yang pada masyarakat itu dijungjung tinggi nilai-nilai agama merupakan suatu lahan yang subur bagi keluarga dan anak untuk membina kehidupan berperilaku agama, lingkungan masyarakat akademik merupakan lahan yang subur untuk menumbuhkan minat akademik anak, begitu pula lingkungan masyarakat bisnis merupakan lingkungan yang subur untuk menumbuhkan minat bisnis anak-anak. Dengan demikian, jika rumah dan sekolah mengembangkan suatu budaya atau nilai tertentu yang relevan dengan apa yang berkembang di masyarakat, maka kecenderungan pengaruhnya akan saling mendukung sehingga peluang pencapaiannya akan sangat besar.
Namun tidak selamanya budaya-budaya baik yang dikembangkan di rumah dan di sekolah itu sejalan dengan apa yang terjadi di masyarakat. Sementara di rumah dan di sekolah tidak pernah di ajarkan untuk mencuri, untuk berkelahi, menghianati orang lain, dan sebagainya akan tetapi semua hal itu di masyarakat terjadi. Kondisi demikian tentunya akan menimbulkan sejumlah pertanyaan, sikap kritis, dan bahkan mungkin kebingungan pada diri anak. Di sinilah perlunya ikatan psikologis yang kuat antara keluarga dengan anak sehingga keluarga tetap dipercaya sebagai tempat yang baik untuk membicarakan dan memahami berbagai permasalahan yang terjadi di masyarakat.
Berbeda dengan kasus keluarga dan sekolah, di lingkungan masyarakat susah menentukan siapa yang sebenarnya paling bertanggung jawab. Di rumah, orangtua bisa didudukkan sebagai orang yang paling bertanggung jawab, di sekolah guru juga bisa diposisikan sebagai orang yang paling bertanggung jawab, tapi di masyarakat tidak ada yang bertanggung jawab. Sekalipun di masyarakat ada tokoh masyarakat, tokoh agama, penguasa, dll namun posisi mereka sangat berbeda dengan orangtua di rumah dan guru di sekolah. Karena itu pada akhirnya tanggung jawab itu akan kembali kepada masing-masing keluarga juga. Masyarakat adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan individu-individu yang hidup di sana. Baik-tidaknya suatu masyarakat akan tergantung kepada keluarga-keluarga yang membangun masyarakat yang bersangkutan.
Dengan pemikiran seperti itu, akhirnya keluarga atau orang tua jugalah yang diharapkan dapat membantu anak sehingga mereka bisa memahami persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi dan mampu menyesuaikan diri secara positif. Di sini orang tua perlu menjaga keakraban hubungan dengan anak, di samping menyampaikan pemahaman-pemahaman yang tepat tentang berbagai fenomena kehidupan yang dialami dan disaksikan oleh anak sesuai dengan tingkat pemahaman anak yang bersangkutan.

2.2    Hubungan dengan  Teman Sebaya
Tidak berlebihan kiranya kalau Hartub, dkk. (dalam Desmita, 2009) menulis “The social relations of children and adolescents are centered on their friends as well as their families,”  sebab bagaimanapun bagi anak usia sekolah, teman sebaya (peer) mempunyai fungsi yang hampir sama dengan orang tua. Teman bisa memberikan ketenangan ketika mengalami kekhawatiran. Tidak jarang terjadi seorang anak yang tadinya penakut berubah menjadi pemberani berkat teman sebaya. Berikut ini akan diuraikan beberapa aspek perkembangan hubungan peserta didik dengan teman sebayanya.
a.       Karakteristik hubungan anak usia sekolah dengan teman sebayanya.
Seperti halnya dengan masa awal anak-anak, berinteraksi dengan teman sebaya merupakan aktivitas yang banyak menyita waktu anak selama masa pertengahan dan akhir anak-anak. Barker dan Wright dalam Desmita (2009:224) mencatat bahwa:
anak-anak usia 2 tahun menghabiskan 10 % dari waktu siangnya untuk berinteraksi dengan teman sebaya. Pada usia 4 tahun, waktu yang dihabiskan untuk berinteraksi dengan teman sebaya meningkat menjadi 20 %. Sedangkan anak usia 7 hingga 11 tahun meluangkan lebih dari 40 % waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebaya.

b.      Pembentukan kelompok
Interaksi teman sebaya dari kebanyakan anak usia sekolah ini terjadi dalam grup atau kelompok, sehingga periode ini sering disebut “usia kelompok”. Pada masa itu, anak tidak lagi puas bermain sendirian di rumah, atau melakukan kegiatan-kegiatan dengan anggota keluarga. Hal ini adalah karena anak memiliki keinginan yang kuat untuk diterima sebagai anggota kelompok, serta merasa tidak puas bila tidak bersama teman-temanya.
Dalam menentukan sebuah kelompok teman, anak usia sekolah dasar lebih menekankan pentingnya aktivitas bersama-sama, seperti berbicara, berkeluyuran, berjalan ke sekolah, berbicara melalui telepon, mendengarkan musik, bermain game, dan melucu. Tinggal di lingkungan yang sama , bersekolah di sekolah yang sama, dan berpartisipasi dalam organisasi masyarakat yang sama, merupakan dasar bagi kemungkinan terbentuknya kelompok teman sebaya.
Krasnor dalam Desmita (2009:225) mencatat bahwa:

Adanya perubahan sifat dari kelompok teman sebaya pada anak usia sekolah. Ketika anak berusia 6 hingga 7 tahun, kelompok teman sebaya tidak lebih dari pada kelompok bermain; mereka memiliki sedikit peraturan dan tidak terstruktur untuk menjelaskan peran dan kemudahan berinteraksi di antara anggota-anggotanya. Kelompok terbentuk secara spontan. Ketika anak berusia 9 tahun, kelompok-kelompok menjadi lebih formal. Sekarang anak-anak berkumpul menurut minat yang sama dan merencanakan perlombaan-perlombaan. Mereka membentuk klub atau perkumpulan dengan aturan-aturan tertentu. Kelompok-kelompok ini mempunyai keanggotaan inti; masing-masing anggota harus berpartisipasi dalam aktivitas kelompok, dan yang bukan anggota dikeluarkan.

c.    Popularitas, Penerimaan Sosial, dan Penolakan
Pada anak usia sekolah dasar mulai terlihat adanya usaha untuk mengembangkan suatu penilaian terhadap orang lain dengan berbagai cara. Hal ini terlihat pada anak-anak kelas dua atau kelas tiga yang telah memiliki stereotip budaya tentang tubuh. Misalnya saja dalam hal ini mereka menilai bahwa anak laki-laki yang tegap (berotot) lebih disenangi dari pada anak laki-laki yang gemuk atau kurus. Kemudian, pemilihan teman dari anak-anak ini terus meningkat dengan lebih mendasarkan pada kualitas pribadi, seperti kejujuran, kebaikan hati, humor, dan kreativitas.   
Para ahli psikologi perkembangan telah lama mempelajari pembentukan kelompok teman sebaya dan status dalam kelompok untuk mengetahui anak-anak yang cenderung menjadi populer. Para peneliti juga telah melakukan penelitian untuk menentukan mana anak-anak yang sering sendiri dan mana anak yang disenangi oleh anak-anak lain. Dalam penelitian ini, mereka telah menggunakan suatu teknik yang disebut sosiometri (Hallinan, 1981), yaitu suatu teknik penelitian yang digunakan untuk menentukan status dan penerimaan sosial anak di antara teman sebayanya. Dalam hal ini, mereka secara khas menanyakan kepada anak-anak yang tergabung dalam suatu organisasi (misalnya dalam ruang kelas), tentang mana anak-anak yang pantas dikelompokkan sebagai “teman baik”, yang “paling disukai oleh anak-anak lain”, atau yang “kurang disukai”. Atas dasar jawaban-jawaban dari anak-anak tersebut, para peneliti menyusun sebuah sosiogram, yaitu suatu diagram yang menggambarkan interaksi anggota suatu kelompok, atau bagaimana perasaan masing-masing anak dalam suatu kelompok terhadap anak-anak lain. Sosiogram ini menentukan mana anak-anak yang diterima oleh anak-anak lain, mana yang diterima sedikit teman sekelas, dan mana anak yang tidak diterima oleh seorang pun. Berdasarkan informasi ini, kemudian peneliti membedakan anak-anak atas dua, yaitu anak yang populer dan anak yang tidak populer .
·         Anak yang Populer
      Popularitas seorang anak ditentukan oleh berbagai kualitas pribadi yang dimilikinya. Hartup, 1983 (dalam Desmita, 2009) mencatat bahwa anak yang populer adalah anak yang ramah, suka bergaul, bersahabat, sangat peka secara sosial, dan sangat mudah bekerjasama dengan orang lain.  Asher et al., 1982 (dalam Desmita, 2009), juga mencatat bahwa anak-anak yang populer adalah anak-anak yang dapat menjalin interaksi sosial dengan mudah, memahami situasi sosial, memiliki keterampilan yang tinggi dalam hubungan antar pribadi dan cenderung bertindak dengan cara-cara yang kooperatif, prososial, serta selaras dengan norma-norma kelompok. Popularitas juga dihubungkan dengan IQ dan prestasi akademik. Anak-anak lebih menyukai anak yang memiliki prestasi sedang, mereka sering menjauh dari anak yang sangat cerdas dan yang sangat rajin di sekolah, demikian juga halnya dengan mereka yang pemalas secara akademis (Zigler & Stevenson, 1993).
·         Anak yang tidak Populer
      Anak yang tidak populer dibedakan atas dua tipe, yaitu: anak-anak yang ditolak dan anak-anak yang diabaikan. Anak-anak yang diabaikan adalah anak yang menerima sedikit perhatian dari teman-teman sebaya mereka, tapi bukan berarti mereka tidak disenangi oleh teman-teman sebayanya. Anak-anak yang ditolak adalah anak yang tidak disukai oleh teman-teman sebaya mereka. Mereka cenderung bersifat mengganggu, egois, dan mempunyai sedikit sifat-sifat positif.
      Anak-anak yang ditolak kemungkinan untuk memperlihatkan perilaku agresif, hiperaktif, kurang perhatian atau ketidak dewasaan, sehingga sering bermasalah dalam perilaku dan akademis di sekolah (Putallaz & Waserman, 1990). Akan tetapi tidak semua anak-anak yang ditolak bersifat agresif. Meskipun perilaku agresif inpulsif dan mengganggu, mereka sering menjadi penyebab mengapa mereka mengalami penolakan, namun kira-kira 10% hingga 20 % anak-anak yang ditolak adalah anak-anak yang pemalu (Santrock, 1996).
Di samping mempunyai kontribusi yang sangat positif terhadap perkembangan anak, teman sebaya pun dapat memberikan pengaruh buruk bagi mereka.  Keadaan ini terungkap dari hasil-hasil penelitian berikut:
·      Healy dan Browner menemukan bahwa 67% dari 3000 anak nakal di Chicago, ternyata karena mendapat pengaruh dari teman sebayanya.
·      Glueck menemukan bahwa 98,4% dari anak-anak nakal adalah akibat pengaruh anak-anak lainnya, dan hanya 74% saja dari anak yang tidak nakal berkawan dengan yang nakal (M. Arifin, 1978:131).

Pengaruh kelompok teman sebaya terhadap anak itu ternyata berkaitan dengan iklim keluarga anak itu sendiri. Anak yang memiliki hubungan yang baik dengan orangtuanya (iklim keluarga sehat) cenderung dapat menghindarkan diri dari pengaruh negatif teman sebayanya, dibandingkan dengan anak yang hubungan dengan orangtuanya kurang baik. Judith Brook dan koleganya menemukan bahwa hubungan orangtua dengan anak yang sehat dapat melindungi remaja tersebut dari pengaruh teman sebaya yang tidak sehat (Sigelman dan Shaffer, 1995: 380).

2.3    Persahabatan
Dalam lingkungan masyarakat, anak-anak memiliki keinginan untuk menjalin hubungan pertemanan yang lebih akrab yang biasa disebut dengan istilah persahabatan. Santrock, 1998 (dalam Desmita, 2009) mencatat karakteristik yang paling umum dari persahabatan adalah keakraban dan kesamaan .Keakraban dapat diartikan sebagai penyingkapan diri dari berbagai pemikiran pribadi. Keakraban  ini menjadi dasar bagi relasi anak dengan sahabat. Karena kedekatan ini, anak mau menghabiskan waktunya dengan sahabat dan mengekspresikan efek yang lebih positif terhadap sahabat dibandingkan dengan yang bukan sahabat, Hartub, 1989 (dalam Desmita, 2009) dan bersedia mengungkapkan dirinya secara terbuka, Bert & Perry, 1990 (dalam Desmita, 2009). Anak juga lebih bersedia berbagi dengan sahabat, meskipun terkadang terjadi situasi persaingan, sehingga menurunkan kesediaan mereka untuk berbagi dengan sahabat.
Meskipun demikian, persahabatan memainkan peranan yang penting dalam perkembangan psikososial anak. Rubin, 1980 (dalam  Desmita, 2009) mencatat:
1.       Sahabat memberikan kesempatan kepada anak untuk mempelajari keterampilan-keterampilan  tertentu. Sahabat mengajarkan pada anak mengenai bagaimana berkomunikasi satu sama lain, sehingga anak memperoleh pengalaman belajar untuk mengenali kebutuhan dan minat orang lain, serta bagaimana bekerjasama dan mengelola konflik dengan baik.
2.       Persahabatan memungkinkan anak untuk membandingkan dirinya dengan individu lain, karena anak biasanya menilai dirinya berdasarkan perbandingan dengan anak lain.
3.       Persahabatan mendorong munculnya rasa memiliki terhadap kelompok. Pada usia 10-11 tahun, kelompok menjadi penting. Anak menemukan sebuah organisasi sosial yang tidak hanya terdiri atas sekumpulan individu, tetapi juga mencakup adanya peran-peran, partisipasi kolektif, dan dukungnan kelompok untuk melakukan aktivitas-aktivitas kelompok.
Sementara itu, Santrock, 1998 (dalam Desmita, 2009) mencatat enam fungsi penting dari persahabatan, diantaranya:
1.       Sebagai kawan, dimana persahabatan memberi anak seorang teman yang akrab, teman yang bersedia meluangkan waktu bersama mereka dan bergabung dalam melakukan kegiatan-kegiatan bersama.
2.       Sebagai pendorong, dimana persahabatan memberikan pada anak informasi-informasi yang menarik, kegembiraan dan hiburan.
3.       Sebagai dukungan fisik, dimana persahabatan memberikan waktu, kemampuan-kemampuan, dan pertolongan.
4.       Sebagai dukungan ego, dimana persahabatan menyediakan harapan atau dukungan, dorongan dan umpan balik yang dapat membantu anak mempertahankan kesan atas dirinya sebagai individu yang mampu, menarik, dan berharga.
5.       Sebagai perbandingan sosial, dimana persahabatan menyediakan informasi tentang bagaimana cara berhubungan dengan orang lain, dan apakah anak melakukan sesuai dengan baik.
6.       Sebagai pemberi keakraban dan perhatian, dimana persahabatan memberi anak-anak suatu hubungan yang hangat, erat, saling mempercayai dengan anak lain, yang berkaitan dengan pengungkapan diri sendiri.

Persahabatan merupakan salah satu fenomena interaksi sosial yang penting bagi anak usia sekolah. Anak-anak usia 8 tahun, terutama anak perempuan, biasanya telah memiliki beberapa teman dari sejumlah kegiatan yang berbeda. Ada teman naik sepeda, teman yang suka menemani waktu istirahat sekolah, teman di tempat les, dll. Pada umumnya hubungan pertemanan ini masih bersifat sederhana dan saling tak tergantung. Oleh karena itu, tak jarang persahabatan datang dan pergi hanya dalam waktu beberapa bulan saja.
Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, anak usia 10 tahunan mulai lebih memperhatikan kualitas hubungan persahabatannya. Mereka sudah lebih terampil bersosialisasi, sudah dapat menghargai nilai kedekatan serta ketergantungan satu sama lain. Hal ini terjadi karena pada usia ini emosi anak sudah mulai cukup matang untuk berempati, sehingga mereka juga mulai mencoba untuk berbagi rasa dan pikiran dengan teman-teman tertentu. Dibandingkan pada usia sebelumnya, kualitas persahabatan pada usia ini lebih kompleks dan berlangsung lama.


2.4    Pengaruh Media Informasi
Dekade akhir-akhir ini sering disebut sebagai era informasi. Ini mengidentifikasikan betapa dominannya peran media informasi dalam kehidupan dewasa ini. Kita sekarang bisa menyaksikan betapa berjamurnya televisi-televisi swasta, ditambah lagi dengan parabola, internet, dan semacamnya. Semua itu bisa memberikan pengaruh positif bagi anak, khususnya dalam mengkondisiskan anak berburu informasi atau pengetahuan.
Karena banyak unsur hiburannya, anak-anak pun tampaknya semakin akrab dengan tayangan-tayangan televisi. Dibanding dengan jam belajarnya di rumah, jumlah jam untuk nonton televisi umumnya jauh lebih banyak. Suatu penelitian terhadap anak-anak remaja di Bandung, Budimasyah, dkk. (dalam Semiawan, 1999), menginformasikan bahwa jumlah jam nonton televisi setiap harinya rata-rata sekitar 6 jam lebih. Jumlah jam ini diperkirakan kurang lebih sama dengan anak-anak usia SD. Karena saking akrabnya anak-anak sekarang dengan televisi, kebanyakan sekarang mereka sudah hafal acara-acara kesayangannya setiap hari di televisi.
Sayangnya, tidak semua tayangan-tayangan tontonan itu cocok ditonton oleh anak. Beberapa di antaranya bahkan ada yang bisa berpengaruh negatif terhadap perkembangan anak. Bukan hanya jam belajarnya yang berkurang, tetapi lebih parah lagi dapat merangsang berkembangnya perilaku-perilaku negatif pada anak. Betsch dan Dickenberger, 1993 (dalam Semiawan, 1999) mencatat bahwa anak-anak yang biasa menonton film yang agresif cenderung berperilaku agresif pula.
Menghadapi kenyataan seperti itu, rasanya tidak mungkin bagi orangtua untuk mengasingkan anak dari dunia televisi. Di samping hal itu tidak manusiawi, waktu dan kesempatan orangtua untuk meperhatikan anak juga sangat terbatas. Karena itu ada baiknya kalau saran-saran dari Dorothy dan Singer (dalam Semiawan, 1999) mencatat masukan dalam membimbing anak dalam menonton televisi.
  1. Kembangkan kebiasaan menonton yang baik sejak awal kehidupan anak.
  2. Doronglah anak untuk menonton program-program khusus secara terencana, bukan menonton sembarang program. Aktiflah bersama anak di saat menonton program-program yang terencana tersebut.
  3. Carilah program-program yang menonjolkan peran anak dalam kelompok usianya.
  4. Menonton televisi hendaknya tidak digunakan sebagai pengganti dari kegiatan-kegiatan lain.
  5. Lakukanlah pembicaraan dengan anak tentang tema-tema televisi yang sensitif. Berilah mereka kesempatan untuk mengajukan pertanyaan tentang program-program itu.
  6. Seimbangkan antara aktivitas membaca (belajar) dan menonton televisi. Anak-anak dapat menindaklanjuti program-program televisi yang menarik dengan mengeceknya pada buku-buku yang berkenaan dengan program-program yang ditonton tersebut.
  7. Bantulah anak dalam mengembangkan jadwal menonton yang seimbang antara program pendidikan, aksi, komedi, seni, fantasi, olahraga, dll.
  8. Tunjukkan contoh-contoh positif yang menunjukan bagaimana etnik yang bervariasi dan kelompok budaya berkontribusi dalam menciptakan suatu masyarakat yang lebih baik.
  9. Tunjukkan contoh-contoh positif dari wanita yang kompeten baik di rumah maupun dalam profes

BAB III
IMPLIKASI FAKTOR LINGKUNGAN MASYARAKAT TERHADAP PENDIDIKAN

Dalam situasi sekolah, gen-gen mungkin dapat dilihat sebagai bagian dari dunia nyata anak-anak. Meskipun demikian, bagi seseorang yang bekerja secara dekat dengan anak-anak dan remaja, kekuatan dan kelemahan dari pengaruh genetik ini adalah penting untuk dipahami. Seorang guru misalnya, perlu memahami sifat-sifat dan perbedaan-perbedaan individual. Di samping itu, pemahaman tentang dampak faktor-faktor lingkungan terhadap perkembangan anak, akan memberi pendidik suatu pertimbangan yang optimistis tentang potensi-potensi yang penting ditumbuhkembangkan dalam diri semua peserta didik. McDevitt dan Ormrod (2002) merekomendasikan beberapa hal penting yang perlu dilakukan guru dalam menyikapi pengaruh lingkungan bagi perkembangan anak, di antaranya:
1.      Memahami dan menghargai perbedaan-perbedaan individual anak. Guru yang menghargai berbagai karakteristik fisik, tipe-tipe kepribadian dan bakat-bakat mereka, dapat membuat peserta didik menjadi senang. Anak-anak yang tinggi dan pendek, gemuk dan kurus, yang serasi dan kikuk, yang sedih dan ceria, yang kalem dan pemarah, semuanya harus mendapat tempat yang benar dalam hati guru.
2.      Menyadari bahwa sebenarnya faktor lingkungan masyarakat mempengaruhi setiap aspek perkembangan. Gen-gen mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pertumbuhan fisiologis dan pengaruh yang sedang terhadap karakteristik psikologis yang kompleks. Meskipun demikian, perkembangan dan belajar harus dipandang sebagai suatu hasil pertumbuhan biasa dari aspek biologis yang sangat berpengaruh terhadap anak. Faktor-faktor lingkungan dapat mempengaruhi anak melalui banyak cara, seperti melalui layanan pengajaran dan bimbingan. Anak-anak yang secara genetik memilki kecenderungan untuk menjadi seorang yang mudah marah atau agresif, dapat dilatih dan dibimbing menjadi seorang yang lebih adaptif dan memperlihatkan tingkah laku prososial.
3.      Mendorong siswa menentukan pilihan-pilihan sendiri untuk meningkatkan pertumbuhan. Misalnya, untuk tumbuh menjadi lebih dewasa, anak-anak harus aktif mencari lingkungan-lingkungan dan pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan kemampuan naturalnya, dan guru mengambil posisi kunci untuk menolong mereka menemukan aktivitas dan sumber-sumber yang memungkinkan mereka menggunakan dan mengembangkan bakat-bakat mereka.



 BAB IV
KESIMPULAN

Masyarakat adalah gabungan dari keluarga-keluarga dan individu-individu yang hidup di suatu daerah. Baik-tidaknya suatu masyarakat akan tergantung kepada keluarga-keluarga yang membangun masyarakat yang bersangkutan.
Lingkungan masyarakat memiliki peran dan pengaruh tertentu dalam pembentukan kepribadian dan perilaku anak. Pengalaman-pengalaman interaksional anak pada masyarakat ini akan memberi kontribusi tersendiri dalam pembentukan perilaku dan perkembangan pribadi anak. Jika dihubungkan dengan lingkungan keluarga dan sekolah, lingkungan masyarakat bisa mendukung apa yang dikembangkan di keluarga dan di sekolah. Jika keluarga dan sekolah mengembangkan suatu budaya atau nilai yang relevan dengan apa yang dikembangkan di masyarakat, maka kecenderungan pengaruhnya akan saling mendukung sehingga peluang pencapaiannya akan sangat besar.
Ada beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat terhadap perkembangan peserta didik, di antaranya hubungan dengan teman sebaya, persahabatan, dan pengaruh media informasi. Tiga hal ini dapat memberikan pengaruh positif ataupun negatif bagi perkembangan anak. Oleh karena itu, dalam pergaulan peserta didik di lingkungan masyarakat, keluarga atau orangtualah yang diharapkan dapat membantu anak untuk bisa memahami persoalan-persoalan masyarakat yang terjadi dan mampu menyesuaikan diri secara positif.









DAFTAR PUSTAKA

Darwis, Abu. 2006. Pengubahan Perilaku Menyimpang Murid Sekolah Dasar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Desmita. 2009. Psikologi Perkembangan Peserta Didik. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Semiawan, Conny R. 1999. Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Yusuf, Syamsu. 2007. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

PERKEMBANGAN KREATIVITAS

BAB I 
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

 Semua anak, khususnya anak sekolah dasar menampakkan kesenangan belajar dan bahkan mereka ingin mempelajari banyak hal. Dorongan ingin tahu mereka yang sangat tinggi dapat dilihat dari keinginan untuk mengeksplorasi lingkungan dengan kemampuan dan dorongan mereka untuk mengetahui sesuatu dan membuat sesuatu secara kreatif. Mereka senang bermain boneka, pistol-pistolan dan berbagai macam alat permainan lainnya yang mereka ciptakan melalui bahan alami seperti daun singkong untuk membuat boneka wayang, dan dahan pisang untuk membuat pistol-pistolan.Mereka cenderung meniru dan mencoba apa yang mereka lihat dan ketahui. Mereka memiliki minat yang luas dan cita-cita yang banyak, walaupun mereka belum menyadari bahwa untuk mengembangkan minat dan mencapai cita-cita mereka memerlukan pengorbanan dan kerja keras. Mereka juga belum menyadari perlunya memiliki pengetahuan dan keterampilan serta kepribadian yang sesuai dengan tuntutan keinginan mereka. Anak-anak sangat menyenangi belajar, seperti yang kita ketahui dari pendapat (Soepartinah, P.S., 1981) bahwa sebenarnya anak-anak dapat dan ingin belajar, dan lebih dari itu, mereka ingin belajar sebanyak-banyaknya dan sesegera mungkin.
Oleh karena itu, guru-guru diharapkan dapat memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk belajar kreatif sebanyak dan selekas mungkin. Caranya adalah dengan membuat situasi belajar yang menarik dan sekreatif mungkin sehingga anak-anak dapat memiliki keinginan untuk kreatif seperti yang dilakukan oleh gurunya.

B.     Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang penyusun sajikan diatas, maka disini kami dapat merumuskan beberapa  permasalahan, diantaranya:
1.      Bagaimana ciri-ciri yang menunjukan kepribadian kreatif itu?
2.      Bagaimana perkembangan kreativitas anak pada usia 0 sampai 10 tahun?
3.      Bagaimana peran pendidik dalam mengembangkan kreativitas anak?
4.      Apa saja kendala-kendala dalam mengembangkan kreativitas anak?

C.    Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dari makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui ciri-ciri dari kepribadian yang kreatif.
2.      Untuk mengetahui perkembangan kreativitas anak usia dini.
3.      Untuk mengetahui peran pendidik dalam mengembangkan kreatifitas anak, serta kendala-kendala yang dihadapi.

D.    Sistematika Penulisan

Makalah ini disusun dengan menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan sistematika penulisan. BAB II Landasan Teori, mencakup hakikat pendidikan, pengertian kreativitas, teori kreativitas, dan peningkatan kreativitas dalam sistem pendidikan. BAB III Pembahasan, meliputi ciri-ciri kepribadian kreatif, perkembangan kreativitas anak, peran guru dalam mengembangkan kreativitas anak, serta kendala dalam mengembangkan kreativitas. BAB IV Implikasi Perkembangan Kreativitas Dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar. Terakhir, BAB V Kesimpulan dan Saran.

BAB II                      
LANDASAN TEORI                


A.    Hakikat Pendidikan

Pendidikan mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi perkembangan dan perwujudan diri individu, terutama bagi pembangunan bangsa dan Negara. Kemajuan suatu kebudayaan bergantung kepada cara kebudayaan tersebut mengenali, menghargai , dan memanfaatkan sumber daya manusia dan hal ini berkaitan erat dengan kualitas pendidikan yang diberikan kepada anggota masyarakatnya; kepada peserta didik.
Tujuan pendidikan pada umumnya ialah menyediakan lingkungan yang memungkinkan anak didik untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya secara optimal, sehingga ia dapat mewujudkan dirinya dan berfungsi sepenuhnya, sesuai dengan kebutuhan pribadinya dan kebutuhan masyarakat. Setiap orang ,mempunyai bakat dan kemampuan yang berbeda-beda dan karena itu membutuhkan pendidikan yang berbeda-beda pula. Pendidikan bertanggung jawab untuk memandu (yaitu mengidentifikasi dan membina) serta memupuk (yaitu mengembangkan dan meningkatkan) bakat tersebut, termasuk dari mereka yang berbakat istimewa atau memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa (the gift dan talented).
Renzulli (Munandar, 2004: 6) mengungkapkan bahwa ‘Dulu orang biasanya mengartikan “anak berbakat” sebagai anak yang memiliki tingkat kecerdasan (IQ) yang tinggi. namun sekarang makin disadari bahwa yang menentukan keberbakatan bukan hanya intelegensi (kecerdasan) melainkan juga kreativitas dan motivasi untuk berprestasi’.
Kreativitas atau daya cipta memungkinkan penemuan-penemuan baru dalam bidang ilmu dan tekhnologi, serta dalam semua bidang usaha manusia lainnya.

B.     Pengertian Kreativitas

“Secara umum kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk berfikir tentang sesuatu dengan suatu cara yang baru dan tidak biasa (unusual) dan menghasilkan penyelesaian yang unik terhadap berbagai persoalan” (Semiawan, 1999: 89)
Selain dari apa yang telah disebutkan diatas, maka untuk memahami pengertian kreativitas, maka Rhodes (Munandar, 1977) mengemukakan bahwa ada beberapa tinjauan yang harus dikaji. Adapun definisi kreativitas itu dapat dikaji melalui the Four P’s of Creativity (Person, Product, Process, and Press).
Kreativitas sebagai pribadi (person), kreativitas itu mencerminkan keunikan individu dalam pikiran-pikiran dan ungkapan-ungkapan. Halini dipertegas oleh Paul Swartz (1963) bahwa kreativitas merupakan ekspresi tertinggi individualitas manusia.
Kretivitas sebagai produk (product), suatu karya dapat dikatakan kreatif, jika karya itu merupakan suatu ciptaan yang baru atau orisinil dan bermakna bagi individu dan / atau lingkungan. Lebih jauh diungkapkan oleh Jhon A. Glover (1980) bahwa ada tempat pemberangkatan yang terbaik, yaitu kriteria yang dianggap cukup representatif oleh sebagian besar para ahli psikologi dalam mendefinisikan kreativitas. Kriteria yang dimaksudkan adalah sipat kebaruan (novelty) dan kegunaan (utility).
Kreativitas sebagai proses (process) yaitu bersibuk diri secara kreatif yang menunjukan kelancaran, fleksibilitas, dan orisinalitas dalam berfikir. Para ahli yang merumuskan definisi kreativitas berdasarkan proses, yaitu Spearman (1930) dan Torrance (1974). Spearman (Munandar, 1977) berpendapat bahwa berfikir kreatif pada dasarnya merupakan proses melihat atau menciptakan hubungan antara proses sadar dan dibawah sadar.  Sementara E. Paul Torrance (Semiawan, 1999: 90) mendefinisikannya sebagai berikut:
‘Creativity, as a process of becoming sensitive to problems, deficiencies, gaps in knowladge, nissing elements, disharmonies, and so on; identifying the dificulty; searching for  solutions, making guesses, or formulating hypothesis about the dificiences; testing and retesting these hypothesis and posibly modifying and retesting; and finally communicating the result’.
Kreativitas sebagai press, menurut bahasa MacKinnon (Roslnaksky, 1970) The creative situation, yaitu kondisi dari dalam atau luar, lebih konkritnya situasi kehidupan atau lingkungan sosial, kultural, dan kerja yang memberikan kemudahan dan mendorong penampilan fikiran dan tindakan kreatif.
Akhirnya secara komprehensif kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan berfikir, bersikap, dan bertindak tentang sesuatu dengan cara yang baru dan tidak biasa (unusual) guna memecahkan berbagai persoalan, sehingga dapat menghasilkan penyelesaian yang orisinal dan bermanfaat.

C.    Teori Kreativitas

1.      Teori Psikoanalisis
Menganggap bahwa proses ketidaksadaran melandasi kreativitas. Kreativitas merupakan manifestasi dari  kondisi psikopatologis.
2.      Teori Assosiasionistik
Memandang kreativitas sebagai hasil dari proses asosiasi dan kombinasi antara elemen-elemen yang telah ada, sehingga menghasilkan sesuatu yang baru.
3.      Teori Gestalt
Memandang kreativitas sebagai manifestasi dari proses tilikan individu terhadap lingkungannya secara holistik.
4.      Teori Eksistensial
Mengemukakan bahwa kreativitas merupakan proses untuk melahirkan sesuatu yang baru melalui perjumpaan antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan alam. Menurut May (1980), dengan teori eksistensial ini, setiap perilaku kreatif selalu didahului oleh ‘perjumpaan’ yang intens dan penuh kesadaran antara manusia dengan dunia sekitarnya.
5.      Teori Interpersonal
Menafsirkan kreativitas dalam konteks lingkungan sosial. Dengan menempatkan pencipta (kreator) sebagai inovator dan orang di sekeliling sebagai pihak yang mengakui hasil kreativitas. Teori ini menekankan pentingnya nilai dan makna dari suatu karya kreatif. Karena nilai mengimplikasikan adanya pengakuan sosial.
6.      Teori Trait
Memberikan tempat khusus kepada usaha untuk mengidentifikasi ciri-ciri atau karakteristik-karakteristik utama kreativitas.

D.    Peningkatan Kreativitas dalam Sistem Pendidikan

Betapa pentingnya pengembangan kreativitas dalam sistem pendidikan ditekankan oleh para wakil rakyat melalui Ketetapan MPR-RI No.11/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara sebagai berikut:
“Sistem pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan disegala bidang yang memerluka jenis-jenis keahlian dan keterampilan serta dapat sekaligus meningkatkan produktivitas, kreativitas, mutu, dan efisiensi kerja” (Departemen Penerangan, 1983:60).
Perilaku kreatif adalah hasil dari pemikiran kreatif. Oleh karena itu, hendaknya sisitem pendidikan dapat merangsang pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif-produktif, di samping pemikiran logis dan penalaran.

BAB III                   
PEMBAHASAN            


A.    Ciri-ciri Kepribadian Kreatif

Biasanya anak yang kreatif selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Artinya dalam melakukan sesuatu yang bagi mereka amat berarti, penting dasn disukai , mereka tidak terlalu menghiraukan kritik atau ejekan dari orang lain. Merekapun tidak takut untuk membuat kesalahan dan mengemukakan pendapat mereka walaupun mungkin tidak disetujui oleh orang lain. Orang yang inovatif berani untuk berbeda, menonjol, membuat kejutan, atau menyimpang dari tradisi. Rasa percaya diri,keuletan dan ketekunan membuat mereka tidakcepat putus asa dalam  mencapai tujuan mereka.
Thomas edison (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa ‘Dalam melakukan percobaan ia mengalami kegagalan lebih dari 200 kali, sebelum ia berhasil dengan penemuan bola lampu yang bermakna bagi seluruh umat manusia; ia mengungkapkan bahwa ”genius is 1% inpiration and 99% perpiration”.’
Treffinger (Munandar, 2004: 35) mengatakan bahwa pribadi yan'g kreatif biasanya lebih teroganisasi dalam tindakan. Rencana inovatif serta produk orisinal mereka telah dipikirkan dengan matang lebih dahulu, dengan mempertimbangkan maslah yang mungkin timbul dan implikasinya.
Tingkat energi, spontanitas, dan kepetualangan yang luar sering biasa sering tampak pada orang kreatif; demikian pula keinginan yang besar untuk mencoba aktivitas yang baru dan mengasyikan, misalnya untuk menghipnotis, terjun payung, atau menjajagi kota atau tempat baru
Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Ciri yang lebih serius pada orang berbakat ialah ciri seperti idealisme, kecenderungan untuk melakukan refleksi, merenungkan peran dan tujuan hidup, serta makna atau arti dari keberadaan mereka. Anak berbakat lebih cepat menunjukan perhatian pada masalah orang dewasa, seperti politik, ekonomi, polusi, kriminalitas, dan masalah lain yang dapat yang mereka amati di dalam masyarakat.
Ciri  kreatif lainnya ialah kecenderungan untuk lebih tertarik pada hal-hal yang rumit dan misterius. Misalnya kecendrungan untuk percaya pada yang paranormal. Mereka lebih sering memiliki pengalaman indra ke enam atau kejadian mistis.
Minat seni dan keindahan juga lebih kuat dari rata-rata. Walaupun tidak semua orang berbakat kreatif menjadi seniman, tetapi mereka memiliki minat yang cukup  besar terhadap seni, satra, musik, dan teater.
Sedemikian jauh, tampak seolah pribadi yang kreatif itu ideal. Namun, ada juga karekteristik dari siswa  kreatif yang mandiri, percaya diri, ingin tahu, penuh semangat, cerdik, tetapi tidak penurut, hal ini dapat memusingkan kepala guru. Anak kreatif bisa juga bersifat tidak koperatif, egosentris, terlalu asertif, kurang sopan, acuh tak acuh terhadap aturan, keras kepala, emosional, menarik diri, dan menolak dominasi atau otoritas guru. Ciri-ciri tersebut membutuhkan pengertian dan kesadaran, dalam beberapa kasus membutuhkan koreksi dan pengarahan.
“Penelitian pertama di indonesia tentang ciri-ciri kepribadian yang kreatif dilakukan pada tahun 1977 dengan membandingkan pendapat tiga kelompok, yaitu pendapat psikolog, guru, dan orang tua. Alat penelitian yang digunakan ialah adaptasi dari Torrance, yaitu ideal pupil checklist yang terdiri atas 60 ciri yang melalui studi empiris. Dari penelitian ini ditemukan perbedaan kelompok orang yang sangat kreatif dari kelompok orang yang kurang kreatif” (Munandar, 2004: 36).
Ciri-ciri perilaku yang ditemukan pada orang-orang yang memberikan sumbangan kreatif yang menonjol terhadap masyarakat digambarkan sebagai berikut: berani dalam pendirian/keyakinan, melit (ingin tahu), mandiri dalam berpikir dan mempertimbangkan, bersibuk diri terus menerus dengan kerjanya, intuitif, ulet, tidak bersedia menerima pendapat dari otoritas begitu saja. Kenyataan menunjukan, bahwa guru dan orang tua lebih menginginkan perilaku sopan, rajin dan patuh dari anak, ciri-ciri yang tidak berkaitan dengan kreativitas.
Bagaimana pandangan di indonesia tentang ciri-ciri pribadi yang kreatif dan ciri-ciri yang diinginkan pendidik pada anak? Peringkat dari 10 ciri-ciri pribadi kreatif yang diperoleh dari kelompok pakar psikologi (30 orang) adalah sebagai berikut:
1.      Imajinatif
2.      Mempunyai prakarsa
3.      Mempunyai minat luas
4.      Mandiri dalam berfikir
5.      Melit
6.      Senang berpetualang
7.      Penuh energi
8.      Percaya diri
9.      Bersedia mengambil risiko
10.  Berani dalam pendirian dan keyakinan.
Bandingkan ciri-ciri tersebut dengan peringkat ciri siswa yang paling diinginkan oleh guru sekolah dasar dan sekolah menengah (102 orang):
1.      Penuh energi
2.      Mempunyai prakarsa
3.      Percaya diri
4.      Sopan
5.      Rajin
6.      Melaksanakan pekerjaan pada waktunya
7.      Sehat
8.      Berani dalam berpendapat
9.      Mempunyai ingatan baik
10.  Ulet
Dari daftar ciri-ciri ini tidak tampak banyak kesamaan antara ciri-ciri  pribadi yang kreatif menurut pakar psikologi dengan ciri-ciri yang diinginkan oleh guru pada siswa.

B.     Perkembangan Kreativitas Anak

Hurlock (Semiawan, 1999: 96) menegaskan bahwa ‘Hasil sejumlah studi kreativitas menunjukkan bahwa perkembangan kreativitas mengikuti suatu pola yang dapat diramalkan. Ada sejumlah variasi di dalam pola ini. Demikian juga ada beberapa faktor yang berpengaruh terhadap variasi-variasi tersebut, diantaranya: jenis kelamin, status sosio-ekonomi, posisi urutan kelahiran, ukuran besar anggota keluarga, lingkungan kota versus desa, dan intelegensi’.
 Pertama, anak-anak lelaki menunjukkan kreativitas yang lebih tinggi daripada anak perempuan, terutama di masa-masa perkembangan. Di sebagian masyarakat, anak lelaki mendapat perlakuan yang berbeda dari anak perempuan. Anak lelaki mendapat kesempatan yang lebih banyak daripada anak perempuan untuk hidup mandiri, lebih mendapat kesempatan untuk menghadapi resiko, mendapatkan kesempatan dari orang tua dan guru untuk berinisiatif dan menampilkan keasliannya.
Kedua, anak-anak yang berlatar belakang sosio-ekonomis lebih tinggi cenderung lebih kreatif daripada anak-anak yang berlatar belakang rendah. Kelompok pertama diduga mendapatkan perlakuan orangtua yang lebih demokratis, sementara kelompok keduanya lebih banyak mendapat perlakuan otoriter. Kontrol orangtua yang demokratis dapat memelihara kemampuan kreatif dengan memberikan kesempatan yang lebih banyak kepada anak untuk mengekspresikan individualitasnya dan mengejar minat dan aktivitas menurut pilihannya sendiri. Yang lebih penting lagi anak-anak yang berlatar belakang ekonomi tinggi mendapat kesempatan yang lebih banyak utnuk mengakses pengetahuan dan pengalaman yang diperluakan untuk mengembangkan kreativitas, misalnya ke tempat-tempat rekreasi, tempat-tempat penting, dan pusat-pusat informasi yang dapat mendorong anak-anak untuk berimajinasi serta berpikir dan bertindak secara kreatif.
Ketiga, bahwa anak posisi kelahiran berbeda menunjukkan tingkat kreativitas yang berbeda. Pernyataan ini memiliki implikasi bahwa lingkungan memiliki kedudukan yang lebih penting dari pada keturunan. Anak tengah dan anak bungsu memungkinkan lebih kreatif daripada anak sulung. Anak sulung cenderung mendapat tekanan yang lebih besar untuk memenuhi harapan orang tua daripada anak berikutnya. Sehingga mereka lebih dikehendaki sebagai konformis daripada pencetus ide.
Keempat, anak-anak dari keluarga kecil cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari keluarga besar. Hal ini disebabkan oleh pengasuhan dalam keluarga besar menuntut sikap yang lebih otoriter guna bisa mengendalikan anak yang banyak itu. Perlakuan yang otoriter cenderung menghambat perkembangan kreativitas. Sebaliknya anak dari keluarga kecil cenderung mendapat lebih banyak perlakuan yang demokratis. Sikap tersebut memungkinkan bisa mendukung terciptanya suasana dan sikap yang favorable untuk pengembangan kreativitas.
Kelima, anak-anak dari lingkungan kota cenderung lebih kreatif daripada anak-anak dari lingkungan desa, karena yang pertama lebih banyak mendapatkan lingkungan yang lebih memberikan stimulasi dalam pengembangan kreativitas. Di kota-kota lebih banyak tempat-tempat, objek-objek, benda-beda, dan tantangan-tantangan yang mengundang setiap untuk mengembangkan kemampuan kreatif. Setimulan-setimulan ini mendaorong dan mendukung peningkatan kreativitas anak-anak kota, pada kenyataanya mereka akhirnya memiliki kreativitas yang lebih tinggi dari pada anak desa.
Terakhir, untuk anak yang seusia, anak-anak yang cerdas menunjukan kemampuan kreatif yang lebih dari pada anak-anak yang kurang cerdas. Yang pertama cenderung memiliki ide-ide yang lebih baru ingin mengatasi situasi konflik sosial dan mampu merumuskan lebih banyak alternatif pemecahan terhadap konflik-konflik itu, juga beralasan bahwa anak-anak yang cerdas pada akhirnya pantas dipilih sebagai pemimpin daripada anak-anak seusianya.
Selain dari pada beberapa faktor yang kontributif bagi variabilitas kreativitas itu dapat nampak pada usia dini pada anak itu sibuk dalam kegiatan permainan. Secara berangsur-angsur kreativitas anak dapat dilihat dalam aspek kehidupan, misalnya dalam kegiatan sekolah, kegiatan rekreasi, dan aktifitas kerjanya.
Karya-karya  kreatif yang produktif umumnya mencapai puncak usia 40, dan setelah itu cendrung mengalami stagnan dan secara berangsur-angsur mengalami penurunan. Lehman menegaskan bahwa pencapaian prestasi kreativitas yang dicapai pada usia lebih awal sangat besar dipengaryhi oleh faktor lingkungan, sebaliknya tidak ada bukti yang cukup untuk meyakinkan bahwa penurunan kreativitas itu akibat dari keterbatasan keturunan.
Bertitik tolak dari apa yang telah tersebutkan diatas, kiranya faktor eksternal memiliki sumbangan yang cukup berarti bagi peningkatan dan penurunan kreativitas individu. Spock (hurlock, 1982) menekkankan betapa pentingnya sikap orang tua pada usia bagi pengembangan kreativitas anak. Demikian juga halnya sikap guru baik ditaman kanak-kanak dan SD mempunyai nilai penting bagi perkembangan dan penurunan pontensi kreativitas anak didik.
Arasteh (Semiawan, 1999: 99) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia anak-anak.  Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, maka belajar bahwa meraka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru). Semakin kaku dalam menetapkan otoritas, maka semakin besar kemungkinan dapat menggangu perkembangan kreativitas. Pada usia ini seyogyanya orangtua dan guru mampu memperlakukan peraturan yang ada dengan disertai berbagai penjelasan yang dapat memberikan pemahan pada anak, sehingga anak dalam mengikuti aturan tidak merasa tertekan. Demikian juga aturan yang ada hendaknya dirumuskan dan dipraktekan secar fleksibel, tidak kaku. Tentu saja penerapan aturanya masih tetap memegang prinsip, sehingga tujuan peraturan atau tatatertib dibuat dapat dicapai dengan baik.
Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya. Sebagian besar anak-anak pada usia ini merasa bahwa untuk dapat diterima di dalam geng, mereka harus konformis sedekat mungkin dengan pola-pola prilaku yang telah disepakati dengan gang-nya dan siapa saja yang berani menyimpang, mereka akan ditolak kehadirannya di dalam gank. Dalam suasana yang demikian anak-anak usia ini dikondisikan untuk terbiasakan berpikir dan bertindak secara konformis, mereka cendrung tidak berani mengambil resiko untuk berbeda pendapat. Sekiranya dikembangkan kegiatan-kegiatan di sekolah   yang menuntut pikiran, sikap, dan tindakan yang divergen, maka mereka tidak selalu meresponya dengan bersikap positif, karena mereka belum dan tidak terbiasa mengambil resiko dalam menghadapi perbedaan. Ditambah lagi, konformi dari pada sikap divergen.

C.    Peran Guru Dalam Pengembangan Kreativitas Anak

Selama di sekolah, guru mempunyai peran penting terhadap penyesuaian emosional dan sosial anak dan terhadap perkembangan kepribadiannya. Sehubungan dengan perkembangan intelektual, pada semua jenjang pendidikan guru merupakan kunci kegiatan belajar siswa yang berhasil guna (efektif), terutama pada tingkat sekolah dasar. Hal ini mudah dipahami karena di sekolah dasar umumnya seluruh pelajaran dipegang oleh guru kelas, kecuali mingkin untuk pelajaran seperti Agama, Olahraga, dan Kesenian yang menuntut keterampilan khusus dari guru.
Masalah khusus yang berhubungan dengan pengajaran anak berbakat pada dasarnya merupakan masalah bagaimana menghadapi perbedaan-perbedaan anak. Perbedaan dalam peran guru berdasarkan ciri-ciri khas anak berbakat, yang terampil dalam situasi belajar dan cara guru menangani ciri-ciri tersebut. Karena falsafah pendidikan mengakui adanya perbedaan individual dan bertujuan mengembangkan bakat dan kemampuan setiap anak didik secara optimal, maka dengan sendirinya kualifikasi guru harus berbeda sesuai dengan sifat-sifat dan kemampuan anak didik.
Apakah implikasinya bagi guru anak berbakat? Implikasi tersebut disimpulkan oleh Barbed an Renzulli (Munandar, 1999: 62) sebagai berikut:
1.      Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya.
Mustahil mengharapkan seseorang dapat memahami kebutuhan, perasaan, dan perilaku orang lain, jika ia tidak mengenal diri sendiri. Dalam menghadapi siswa-siswanya, guru yang baik selalu menilai kemampuan, persepsi, motivasi, dan perasaan-perasaanya sendiri. Guru perlu menyadari baik kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahannya. Anak berbakat akan paling maju di bawah bimbingan guru yang memiliki kecerdasan cukup tinggi, memiliki pengetahuan umum yang luas, serta menguasai mata pelajaran yang diajarkannya secara cukup mendalam.
Jika guru pada saat-saat tertentu tidak mengetahui sesuatu dan tidak dapat menjawab pertanyaan siswanya, adalah lebih baik mengatakan “Saya tidak tahu: marilah kita cari jawabannya bersama-sama!” atau “Berilah saya waktu untuk memikirkannya!” Jawaban seperti ini akan lebih mendapat penghargaan dan kepercayaan siswa daripada jika guru menjawab asal saja. Mengapa? Karena anak berbakat bersifat kritis, mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi, dan suka mempertanyakan segala sesuatu.
Guru perlu juga menguji perasaan-perasaannya terhadap anak berbakat. Sikap menguji atau mempertanyakan dari anak berbakat dapat menjengkelkan guru yang bersifat otoriter. Penjelasan guru yang biasanya diterima begitu saja oleh kebanyakan anak mungkin diragukan oleh anak berbakat. Jika guru menunjukkan perasaan tidak senang oleh pertanyaan-pertanyaan anak berbakat, ia dapat mematikan rasa ingin tahu anak, sedangkan guru yang terbuka terhadap gagasan dan pengalaman baru akan meluaskan dimensi minat anak.
2.      Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
 Oleh karena itu, guru yang akan membina anak berbakat perlu memperoleh informasi    dan pengalaman mengenai keberbakatan, tentang apa yang diartikan tentang keberbakatan, bagaimana cirri-ciri anak berbakat, dan dengan cara-cara apa saja kebutuhan pendidikan anak berbakat dapat terpenuhi. Dengan mengetahui kebutuhan-kebutuhan pendidikan anak berbakat, guru akan menyadari bahwa anak-anak ini memerlukan pelayanan pendidikan khusus yang terletak di luar jangkauan kurikulum biasa.
3.      Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
Sehubungan dengan ini guru hendaknya lebih berfungsi sebagai  fasilitator belajar daripada sbagai instructor (pengajar) yang menentukan semuanya. Fungsi pendidik adalah mempersiapkan siswa untuk belajar seumur hidup. Setiap anak dilahirkan dengan rasa ingin tahu. Ia terbuka terhadap pengalaman baru dan belajar dari pengalamannya sesuai dengan kebutuhannya. Hanya sayang, pada waktu anak mulai masuk sekolah sering dorongan alamiah untuk belajar ini terkekang karena kurikulu yang kaku dan program belajar yang tidak beragam (berdiferensiasi), artinya tidak disesuaikan dengan kemampuan dan minat anak.
Jika dorongan alamiah ini terhambat di sekolah, rasa ingin tahu anak akan mati dan berganti menjadi sikap apatis, acuh tak acuh. Karena itu, diperlukan motivasi eksternal (berupa dorongan, pujian, teguran dari guru dan orang tua) dan system penghargaan (nilai-nilai prestasi belajar, angka rapor) untuk menumbuhkan minat anak. Terutama anak yang cerdas dan berbakat dengan rasa ingin tahu yang kuat dan minat yang luas akan merasa terhambat dengan kurikulum yang hanya berorientasi pada mayoritas anak.
Barbe dan Renzulli (Munandar, 1999: 64) mengungkapkan beberapa saran untuk guru yang dapat diterapkan pada semua anak, tetapi terutama penting demi peningkatan kebiasaan belajar seumur hidup dari anak berbakat:
1)      Bentuklah pengalaman belajar dengan rasa ingin tahu alamiah anak dengan menghadapkan masalah-masalah yang relevan dengan kebutuhan, tujuan, dan minat anak.
2)      Perkenankanlah anak untuk ikut serta dalam menyusun dan merencanakan kegiatan-kegiatan belajar.
3)      Berikanlah pengalaman dari kehidupan nyata yang meminta peran serta aktif anak dan kembangkan kemampuan yang perlu untuk itu.
4)      Bertindaklah, lebih sebagai sumber belajar daripada sebagai penyampai infomasi; jangan paksakan pengetahuan yang belum siap diterima anak.
5)      Usahakan agar program belajar cukup luwes untuk mendorong siswa melakukan penyelidikan, percobaan, (eksperimen), dan penemuan sendiri.
6)      Doronglah dan hargailah inisiatif, keinginan mengetahui dan menguji, serta orisinalitas.
7)      Biarkan anak belajar dari kesalahannya dan menerima akibatnya (tentu saja selama tidak berbahaya dan membahayakan).
4.      Guru anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan daripada tekanan. Prakarsa dan keuletan anak berbakat membuatnya tertarik terhadap tantangan. Ia senang menguji kemampuan dan penglamannya terhadap tugas yang bermakna baginya. Ia merasa tertantang untuk menjajaki hal yang sulit dan belum diketahui. Anak yang berbakat dan kreatif cepat bosan dengan tugas-tugas rutin dan yang hanya mengulang-ulang.
5.      Guru anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi lebih-lebih proses belajar.
Belajar bagaimana harus menyadari bahwa belajar (learn) lebih penting daripada menguasai bahan pengetahuan semata-mata. Anak yang tahu bagaimana harus belajar untuk seumur hidupnya akan dapat menentukan sendiri apa yang harus dipelajari.
Macam kegiatan belajar yang lebih berorientasi kepada proses daripada terhadap produk semata-mata dapat dilihat dari contoh-contoh berikut ini.
      Pemecahan masalah dengan lebih menekankan pada proses memperoleh jawaban daripada jawabannya sendiri.
      Membuat klasifikasi (penggolongan).
      Membandingkan dan mempertentangkan.
      Membuat pertimbangan sesuai dengan criteria tertentu.
      Menggunakan sumber-sumber (kamus, ensiklopedi, perpustakaan).
      Melakukan proyek penelitian.
      Melakukan diskusi.
      Membuat perencanaan kegiatan.
      Mengevaluasi pengalaman.
6.      Guru anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik daripada penilaian.
Agar menjadi orang dewasa yang mandiri dan percaya pada diri sendiri, anak harus belajar bagaimana menilai pengalaman dan prestasi belajarnya. Anak yang berbakat cukup mampu melakukan penilaian diri sejak mereka masuk sekolah. Guru perlu memberi umpan-balik dan model prilaku, namun seyogyanya anaklah yang menilai diri sendiri.
Anak harus belajar menilai pekerjaannya sendiri, tidak dalam angka tetapi dalam kaitan dengan kebutuhan dan tujuannya. Penilaian oleh diri sendiri ini disebut evaluasi intrinsik sedangkan penilaian dari luar (oleh orang lain) disebut evaluasi ekstrinsik. Ini tidak berarti bahwa guru tidak boleh menilai kemajuan dan prestasi anak. Hal ini perlu agar guru dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan anak sebagai dasar untuk membantu meningkatkan prestasinya. Guru dapat memberikan umpan-balik dengan membuat catatan yang menyatakan dimana letak kesalahan anak dan bagaimana ia sendiri dapat memperbaikinya. Jika nilai dalam bentuk angka harus diberikan, maka sebaiknya dilengkapi dengan catatan penjelasan.
7.      Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
Termasuk salah satu hal penting yang perlu diketahui anak ialah bahwa ada lebih dari satu cara untuk mencapai sasaran atau tujuan, ada macam-macam kemungkinan jawaban terhadap satu masalah, ada beberapa cara untuk mengelompokkan objek, dan ada beberapa sudut pandang dalam diskusi. Sering guru menekankan bahwa suatu tujuan atau jawaban hanya dapat dicapai dengan satu cara, bahwa hanya satu jawaban yang benar terhadap suatu masalah.
Hendaknya anak diperbolehkan menjajaki beberapa cara atau jalan untuk mencapai tujuan. Kreativitas akan berkembang dalam suasana yang memberika kebebasan untuk menyelidiki. Jika anak tidak dengan sendirinya melihat macam-macam jalan yang dapat ditempuh, hendaknya guru mengarahkan sehingga ia dapat melihat adanya macam-macam alternative strategi belajar.
8.      Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan. Hendaknya setiap anak merasa aman untuk mencoba cara-cara baru dan menjajaki gagasan-gagasan baru di dalam kelas. Banyak anak yang kreatif terlambat dalam ungkapan diri karena takut mendapat kritik, takut gagal, takut membuat kesalahan, takut tidak disenangi guru, atau takut tidak memenuhi harapan orang tua.
Dengan menciptakan suasana di dalam kelas dimana setiap anak merasa dirinya diterima dan dihargai, serta guru menunjukkan bahwa ia percaya akan kemampuan anak, maka akan terpupuk rasa harga diri anak.
Bagaimana guru dapat menciptakan suasana seperti ini?
Beberapa saran yang dapat diberikan:
      Guru menghargai kreativitas anak.
      Guru bersikap terbuka terhadap gagasan-gagasan baru.
      Guru mengakui dan menghargai adanya perbedaan individual.
      Guru bersikap menerima dan menunjang anak.
      Guru menyediakan pengalaman belajar yang berdiferensiasi.
      Guru cukup memberikan struktur dalam mengajar sehingga anak tidak merasa ragu-ragu tetapi di lain pihak cukup luwes sehingga tidak menghambat pemikiran, sikap, dan perilaku kreatif anak.
      Setiap anak ikut mengambil bagian dalam merencanakan pekerjaan sendiri dan pekerjaan kelompok.
      Guru tidak bersikap sebagai tokoh yang “maha mengetahui” tetapi menyadari keterbatasannya sendiri.
Jelaslah bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.

D.    Kendala Dalam Pengembangan Kreativitas Anak

Kreativitas merupakan faktor penentu keberbakatan di samping tingkat kecerdasan di atas rata-rata. ‘Namun, Amabile mengatakan bahwa lingkungan yang menghambat dapat merusak motivasi anak, betapa kuat pun, dan dengan demikian mematikan kreativitas’ (Munandar, 2004: 223)
Masalahnya ialah bahwa dalam upaya membantu anak merealisasikan potensinya, sering kita menggunakan cara paksaan agar mereka belajar. Penggunaan paksaan atau kekerasan tidak saja berarti bahwa kita mengancam dengan hukuman atau memaksakan aturan-aturan, tetapi juga bila kita memberikan hadiah atau pujian secara berlebih. Amabile mengemukakan empat cara yang mematikan kreativitas, yaitu:
·         Evaluasi
Rogers (Munandar, 2004: 223) menekankan salah satu syarat untuk memupuk kreativitas konstruktif ialah bahwa pendidik tidak memberikan evaluasi, atau paling tidak menunda pemberian evaluasi sewaktu anak sedang asyik berkreasi. Bahkan menduga akan dievaluasi pun dapat mengurangi kreativitas anak. Selain itu kritik atau penilaian sepositif apapun meskipun berupa pujian dapat membuat anak kurang kreatif, jika pujian itu memusatkan perhatian pada harapan akan dinilai.
·         Hadiah
Kebanyakan orang percaya bahwa memberi hadiah akan memperbaiki atau meningkatkan perilaku tersebut. Ternyata tidak demikian. Pemberian hadiah dapat merusak motivasi intrinsik dan mematikan kreativitas.
·         Persaingan (Kompetisi)
Kompetisi lebih kompleks daripada pemberian evaluasi atau hadiah secara tersendiri, karena kompetisi meliputi keduanya. Biasanya persaingan terjadi apabila siswa merasa bahwa pekerjaannya akan dinilai terhadap pekerjaan siswa lain da bahwa yang terbaik akan menerima hadiah. Hal ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan sayangnya dapat mematikan kreativitas.
·         Lingkungan yang Membatasi
Albert Einstein yakin bahwa belajar dan kreativitas tidak dapat ditingkatkan dengan paksaan. Sebagai anak ia mempunyai pengalaman mengikuti sekolah yang sangat menekankan pada disiplin dan hafalan semata-mata. Ia selalu diberitahu apa yang harus dipelajari, bagaimana mempelajarinya, dan pada ujian harus dapat mengulanginya dengan tepat, pengalaman yang baginya amat menyakitkan dan menghilangkan minatnya terhadap ilmu, meskipun hanya utnuk sementara. Padahal, sewaktu baru berumur lima tahun ia amat tertarik untuk belajar ketika ayahnya menunjukkan kompas kepadanya. Contoh ini menunjukkan bahwa jika berpikir dan belajar dipaksakan dalam lingkungan yang amat membatasi, minat dan motivasi intrinsik dapat dirusak.

1.      Kendala dari Sosialisasi

Apa yang harus dilakukan pendidik? Cara-cara baku yang begitu lama diandalkan dalam mendidik dan mengajar anak melalui evaluasi, hadiah, kompetisi dan membatasi pilihan, dalam kenyataan dapat merusak kreativitas. Jika hal itu ditiadakan, bagaimana kita dapat berhasil dalam menyosialisasikan anak menjadi orang yang dalam tingkah lakunya sopan, bertanggung jawab dan taat hukum?
Jawabannya ialah bahwa seorang pendidik harus bertindak secara seimbang. Anak memerlukan pengendalian sehingga mereka merasa aman dalam lingkungan yang stabil dan andal, tetapi tidak sedemikian jauh bahwa mereka merasa seakan-akan apapun yang mereka lakukan adalah karena diharuskan. ‘Amabile mengemukakan bahwa pendidik perlu mentukan batas-batas terhadap perilaku anak didiknya tetapi sedemikian bahwa mereka dapat mempertahankan motivasi intrinsik mereka’ (Munandar, 2004: 225).
Namun yang membuat perbedaan bukanlah semata-mata apakah anak diberi pembatasan atau tidak, tetapi bagaimana pembatasan ini diberikan. Jika anak merasa diawasi, maka motivasi dan kreativitas akan terhambat. Tetapi jika pembatasan diberikan sedemikian, anak merasa mereka sendiri ingin berperilaku sebagaimana diharapkan, maka tidak perlu ada dampak penghambat terhadap motivasi dan kreativitas. Dampak penghambat kreativitas berupa pemberian penilaian dan hadiah agaknya bergantung dari bagaimana hal itu diberikan.

2.      Kendala dari Rumah

Tidak jarang karena keinginan orangtua membantu anak berprestasi sebaik mungkin, meraka mendorong anak dalam bidang-bidang yang tidak diminati anak. Akibatnya ialah, meskipun anak berprestasi cukup baik menurut ukuran standar, mencapai nilai tinggi, mendapat penghargaan, tetapi mereka tidak menyukai kegiatan tersebut sehingga tidak menghasilkan sesuatu yang betul-betul kreatif.
Menurut Amabile (Munandar, 2004: 227) ‘lingkungan keluarga dapat pula menghambat kreativitas anak dengan tidak menggunakan secara tepat empat “pembunuh kreativitas” yaitu evaluasi, hadiah, kompetisi, dan pilihan atau lingkungan yang terbatas’.

3.      Kendala dari Sekolah

a)      Sikap Guru
Dalam suatu studi, tingkat motivasi intrinsik siswa renda, jika guru terlalu banyak mengontrol, dan lebih tinggi jika guru memberikan lebih banyak otonomi.
Beberapa studi menunjukkan Pygmalion Effect, yaitu bahwa tanpa disadari seseorang berperilaku sebagaimana ia percaya orang lain mengharapkan ia berperilaku. Guru-guru sekolah dasar diberitahu bahwa anak-anak tertentu di dalam kelas akan menunjukkan “kemajuan yang luar biasa” dalam kinerja intelektual selama tahun pelajaran. Dalam kenyataan, nama siswa-siswa tersebut dipilih secara acak oleh peneliti. Yang mengejutkan ialah bahwa pada akhir tahun siswa-siswi tersebut betul-betul memperlihatkan kemajuan intelektual. Kemudian, peneliti menemukan bahwa kemajuan juga terjadi jika guru mengharapkan siswa meningkat dalam kreativitas.
Menurut Chaplin, harapan guru secara sadar atau tidak sadar dikomunikasikan kepada siswa, dan konsep diri serta harapan diri siswa dibentuk oleh umpan balik dari guru. Pygmalion Effect ini juga disebut self-fulfilling prophesy, yaitu penemuan bahwa tanpa disadari orang berperilaku sebagaimana mereka percaya orang lain mengharapkan mereka berperilaku (Munandar, 2004: 228).
b)      Belajar dengan Hafalan Mekanis
Pada dasawarsa 1960-an pendukung gerakan “kelas terbuka” (open classroom) menekankan bahwa metodependidikan tradisional, termasuk menghafal secara mekanis menghambat kreativitas. Bahkan ada yang berpendapat bahwa terlalu banyak pengetahuan merusak kreativitas. Namun, sekarang pendukung dari gerakan “back to basics” menyatakan bahwa pendidikan tidak ada gunanya jika tidak berdasarkan pembelajaran bahan pengetahuan dasar.
Agaknya kedua pandangan tersebut mempunyai segi benarnya. Tidak mungkin bahwa seseorang mempunyai terlalu banyak pengetahuan untuk dapat menjadi kreatif. Peningkatan dalam bidang pengetahuan tertentu akan meningkatkan kesempatan untuk menemukan kombinasi gagasan baru. Namun, mungkin saja bahwa kreativitas menjadi lumpuh jika pengetahuan dihimpun dengan cara yang keliru.
Salah satu cara yang salah untuk menghimpun pengetahuan adalah dengan belajar secara mekanis, mengahafal fakta tanpa pemahaman bagaimana hubungan antara fakta tersebut. Pengetahuan seperti itu dapat berguna untuk memperoleh nilai tinggi pada tes pilihan ganda, tetapi akan kurang berguna untuk menghasilkan karya kreatif.
c)      Kegagalan
Semua siswa pasti pernah mengalami kegagalan dalam pendidikan meraka, tetapi frekuensi kegagalan dan cara bagaimana hal itu ditafsirkan mempunyai dampak nyata terhadap motivasi intrinsik dan kreativitas.
Kegagalan tidak dapat dihindari seluruhnya, dan juga tidak perlu dihindari, karena kita dapat belajar dari kesalahan dan kegagalan. Bedanya ialah dalam cara guru membantu siswa memahami dan menafsirkan kegagalan.
d)     Tekanan akan Konformitas
Bukan guru saja yang dapat mematikan krativitas di sekolah. Anak-anak dapat saling menghambat kreativitas mereka dengan menekankan konformitas. Dampak dari tekanan teman sebaya nyata jika kita melihat gaya berpakaian ana, dan hiburan atau kegiatan waktu luang yang disukai. Pada umur sekitar sembilan tahun tekanan akan konformitas oleh teman sebaya dapat menghambat kreativitas anak. Penemuan bahwa kreativitas cenderung menurun pada tingkat kelas empat agaknya berkaitan langsung dengan teman sebaya (Torrance, dikutip Amabile, 1989). Padahal justru potensi kreatif itu dalam perwujudannya mencerminkan keunkan seseorang. Seyogianya setiap anak diberi kebebasan untuk “menjadi dirinya”.
e)      “Sistem” Sekolah
Lebih sering orang-orang yang sangat kreatif mempunyai kesulitan di sekolah karena menurut guru “mereka terlalu kreatif’. Bagi anak yang memiliki minat-minat khusus dan tingkat kreativitas yang tinggi, sekolah bisa sangat membosankan. Salah satu ciri anak berbakat kreatif ialah merasa bosan dengan tugas-tugas rutin.
Dalam tulisannya, Boredom, High Ability and Achievement Joan Freeman (1993) memberikan saran-saran bagaimana mengatasi rasa bosan anak berbakat di sekolah. Dari penelitiannya ia memperoleh hasil, bahwa kebosanan dapat timbul karena cara-cara belajar yang tidak tepat. Cara terbaik untuk menghindari menurunnya minat dan timbulnya kebosanan ialah dengan meningkatkan motivasi intrinsik. Bagi siswa berbakat pembelajaran harus menantang, dengan memberikan kepada mereka bahan pelajaran yang lebih majemuk dan merangsang. Mempertimbangkan minat khusus anak dan gaya belajarnya merupakan cara yang efektif untuk melibatkan siswa secara aktif dalam belajar. Pendekatan yang fleksibel dalam mengajar penting untuk meningkatkan kompetensi anak.

BAB IV                   
IMPLIKASI PERKEMBANGAN KREATIVITAS ANAK DALAM PEMBELAJARAN DI SD        


Implikasi dari perkembangan kreativitas anak terhadap pembelajaran di sekolah dasar adalah terletak pada perlunya pengembangan KBM sehingga mampu mengembangkan potensi kreativitas anak. Ketika siswa masih berada pada level yang bawah, seharusnya mulai mengkondisikan dirinya untuk meningkatkan kemampuan kreatifnya tanpa harus menunda-nundanya. Oleh karenanya guru dituntut bertanggung jawab untuk menjadi fasilitator dan pembimbing dalam mengajar dan memanaj kelas.
Berikut ini Donald J. Treffinger (Semiawan, 1999: 105) mengemukakan sejumlah pengalaman belajar yang dapat dikembangkan oleh guru, agar memiliki kekuatan untuk mengembangkan kreativitas anak. Pertama, menciptakan tugas yang dikehendaki anak-anak, sehingga memungkinkan anak-anak mampu menunjukkan keterlibatan personal yang tinggi. Apabila mereka merasa terlibat dalam penciptaan tugas itu, kiranya mereka dapat menyelesaikannya dengan penuh antusiasme.
Kedua, kegiatan pembelajaran hendaknya dilandasi oleh rasa ingin tahu siswa (curiosity), oleh karenanya dalam mengembangkan segala pengalaman belajar hendaknya didasarkan pada minat dan kepedulian anak, lebih konkritnya hendaknya lebih dilandasi dengan motif intinsik anak.
Ketiga, penciptaan proses pembelajaran hendaknya memungkinkan anak-anak dapat mengembangkan sensitivitasnya terhadap berbagai masalah dan tatangan. Dalam kondisi demikian, kemampuan melakukan diagnosis perlu dikembangkan.
Keempat, kegiatan pembelajaran yang perlu ditegakkan adalah pengalaman belajar yang memberikan kelonggaran bagi anak untuk melakukan elaborasi dalam berpikir dan pengembangan kemampuan berpikir divergen, sehingga anak-anak tidak terbiasa dihadapkan pada satu jawaban benar setiap menjumpai persoalan, melainkan mereka akan terkondisikan dalam kehidupan yang selalu mempertimbangkan berbagai ide yang berbeda dan kemungkinan alternatif jawaban terhadap setiap persoalan.
Kelima, selama proses pembelajaran hendaknya dihindari perilaku judgmental dari guru, sebaliknya perlu dikembangkan sikap apresiatif. Evaluasi terhadap anak hendaknya dikembangkan standar yang didasarkan pada tugas dan tujuan serta kemampua anak, sehingga evaluasi lebih bersifat sangat personal. Dengan kata lain untuk kegiatan evaluasi perlu dihindari adanya standar eksternal yang sepenuhnya ditentukan oleh subyektivitas guru.
Keenam, pengalaman belajar yang diberikan kepada anak hendaknya memungkinkan anak bebas melakukan eksperimen, jika perlu anak dapat melakukan kegiatan eksperimen berkali sesuai dengan kebutuhan. Adalah sangat terpuji, sekiranya selalu diusahakan dapat memberikan kelonggaran kepada para siswa untuk menemukan kesalahan, dan mereka dapat belajar dari kesalahan, sehingga mereka dapat menemukan solusinya sendiri.
Ketujuh, kegiatan pembelajaran yang positif diharapkan dapat memberikan kesempatan yang banyak bagi para siswa untuk menentukan pilihannya sendiri. Selanjutnya mereka dapat merumuskannya secara menarik dan menyenangkan, sehingga alternatif solusi itu tidak hanya menyenangkan dirinya saja, melainkan juga bermanfaat bagi orang lain.
Kedelapan, selama proses pembelajaran, anak-anak perlu sekali dihadapkan kepada persoalan riil dalam kehidupan sehari-hari. Adapun hasil pemecahan masalah tersebut dapat di-sharing­-kan kepda orang lain, terutama prosuk-produk kreatif.
Akhirnya, pengalaman belajar yang benar-benar perlu mendapat penekanan adalah pengalaman belajar yang mampu menghantarkan para siswa untuk memecahkan suatu masalah yang dapat mengarahkan mereka mengidentifikasikan tantangan-tantangan baru.
Selain daripada itu selama kegiatan pembelajaran, guru diharapkan dapat menyajikan materi pembelajaran, menyiapkan berbagai media, serta menggunakan pendekatan pembelajaran yang memungkinkan posisi anak didik lebih sebagai subyek daripada obyek pembelajaran, serta mengadakan evaluasi yang tepat, sehingga semuanya mampu mendukung pengembangan kreativitas anak.
Dalam pembelajaran di sekolah, terutama di sekolah dasar, dapat pula diterapkan cara belajar dan mengajar kreatif agar kreativitas anak dapat berkembang dan mampu menunjang proses belajar anak, sehingga menunjukkan hasil belajar yang baik.
Dalam proses belajar kreatif digunakan baik proses berpikir divergen (proses berpikir ke macam-macam arah dan menghasilkan banyak alternative penyelesaian) maupun proses berpikir konvergen (proses berpikir yang mencari jawaban tunggal yang paling tepat).
Pendidikan formal sampai saat ini terutama melatih proses berpikir konvergen, sehingga kebanyakan siswa terhambat dan tidak berdaya menghadapi masalah-masalah yang menuntut pemikiran dan pemecahan masalah secara kreatif.
1.      Menciptakan Lingkungan di dalam Kelas yang Merangsang Belajar Kreatif
Belajar kreatif tidak timbul secara kebetulan tetapi memerlukan persiapan, antara lain dengan menyiapkan suatu lingkungan kelas yang merangsang anak-anak untuk belajar secara kreatif.
Menurut Feldhusen dan Treffinger (1980), suatu lingkungan kreatif dapat tercipta dengan:
a.       Memberikan pemanasan.
b.      Pengaturan fisik.
c.       Kesibukan di dalam kelas.
d.      Guru sebagai fasilitator.
2.      Mengajukan dan Mengundang Pertanyaan
Dalam proses belajar mengajar, diperlukan keterampilan guru baik dalam mengajukan pertanyaan kepada siswa maupun dalam mengundang siswa untuk bertanya.
a.       Teknik bertanya
Agar siswa menjadi pemikir yang baik, kita harus memberikan sesuatu untuk dipikirkan. Metode untuk membuat anak berpikir adalah dengan mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun mengajukan pertanyaan yang menuntut anak untuk  berpikir memerlukan lebih banyak pemikiran dan persiapan oleh guru daripada mengajukan pertanyaan yang menuntut suatu jawaban (berpikir konvergen).
Pertanyaan yang merangsang pemikiran kreatif adalah pertanyaan divergen atau terbuka.
b.      Metode diskusi
Melalui metode diskusi, anak mendapat pengalaman dan latihan mengungkapkan diri secara lisan dan berkomunikasi dengan orang lain dalam mmenghadapi suatu masalah. Diskusi memungkunkan pengembangan penalaran, pemikiran kritis, dan kreatif, serta kemampuan memberikan pertimbangan dan penilaian.
Dalam metode diskusi, peran guru sangat menentukan keberhasilan. Terutama bagi anak berbakat, hendaknya guru dapat menghindari peransertanya yang terus-menerus agar prakarsa dan kemandirian anak dapat berkembang.
c.       Metoda inquiry-discovery
Pendekatan inquiry (pengajuan pertanyaan, penyelidikan), dan discovery (penemuan) dalam belajar penting dalam proses pemecahan masalah. Proses inquiry mulai jika siswa menanyakan sesuatu sehubungan dengan masalah yang dihadapi. Guru dapat menyusun pengalaman belajar siswa sedemikian rupa sehingga mereka terdorong bertanya. Begitu siswa mulai menyelidiki (mencari keterangan) maka ada minat intrinsik (dari dalam) untuk belajar melalui proses discovery (penemuan).
Mengajar inquiry-discovery merupakan metode mengajar yang tak langsung. Guru menjadi pengarah dan fasilitator yang harus memberikan informasi dan bahan sesuai kebutuhan siswa akan informasi yang relevan (bersangkut-paut) dengan tugas. Hal ini dapat berlangsung dalam kelompok kecil melalui diskusi dan bermain peran. Dalam semua situasi, siswa aktif terlibat dalam situasi belajar.
d.      Mengajukan pertanyaan yang menantang
Salah satu cara untuk merangsang daya piker kreatif adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang menantang (provokatif), antara lain dengan menanyakan apa kemungkinan-kemungkinan akaibat dari suatu situasi yang memang belum pernah terjadi, tetapi siswa harus membayangkan apa saja kemungkinan-kemungkinan akibatnya andaikata kejadian atau situasi itu terjadi disini.
Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti ini siswa dirangsang mengimajinasi gagasan-gagasan baru atau menjajaki kemungkinan-kemungkinan akibat dari suatu keadaan.

BAB V   
PENUTUP             


A.    Kesimpulan

Seperti yang kita ketahui, anak-anak yang kreatif biasanya selalu ingin tahu, memiliki minat yang luas, dan menyukai kegemaran dan aktivitas yang kreatif. Anak dan remaja kreatif biasanya cukup mandiri dan memiliki rasa percaya diri. Mereka lebih berani mengambil resiko (tetapi dengan perhitungan) dari pada anak-anak pada umumnya. Siswa berbakat kreatif biasanya mempunyai rasa humor yang tinggi, dapat melihat masalah dari berbagai sudut tinjau, dan memiliki kemampuan untuk bermain dengan ide, konsep, atau kemungkinan-kemungkinan yang dikhayalkan.
Mengenai perkembangan kreativitasnya, Arasteh (Hurlock, 1982) mencoba untuk mengidentifikasi sejumlah usia keritis bagi perkembangan kreativitas pada usia mereka.  Pertama, pada usia 5–6 tahun ketika anak-anak siap memasuki sekolah, mereka belajar bahwa meraka harus menerima otoritas dan konformis dengan aturan dan tata tertib yang dibuat orang dewasa ( orangtua dan guru). Kedua, Usia 8 sampai 10 tahun ketika keinginan anak untuk diterima sebagai anggota gang mencapai puncaknya.
Beberapa peran sekaligus implikasi yang dapat diterapkan guru demi meningkatkan perkembangan kreativitas anak didik diantaranya  disimpulkan oleh Barbed an Renzulli sebagai berikut (1975) :
1.      Pertama-tama guru perlu memahami diri sendiri, karena anak yang belajar tidak hanya dipengaruhi oleh apa yang dilakukan guru, tapi juga bagaimana guru melakukannya.
2.      Di samping memahami diri sendiri, guru guru perlu memiliki pengertian tentang keberbakatan.
3.      Setelah anak berbakat diidentifikasi, guru hendaknya mengusahakan suatu lingkungan belajar sesuai dengan perkembangan yang unggul dari kemampuan-kemampuan anak.
4.      Guru anak berbakat lebih banyak memberikan tantangan daripada tekanan.
5.      Guru anak berbakat tidak hanya memperhatikan produk atau hasil belajar siswa, tetapi lebih-lebih proses belajar.
6.      Guru anak berbakat lebih baik memberikan umpan-balik daripada penilaian.
7.      Guru anak berbakat harus menyediakan beberapa alternatif strategi belajar.
8.      Guru hendaknya dapat menciptakan suasana di dalam kelas yang menunjang rasa percaya diri anak serta dimana anak merasa aman dan berani mengambil resiko dalam menentukan pendapat dan keputusan.
Jelaslah bahwa peran guru sangat penting, tidak hanya dalam mempengaruhi belajar siswa selama di sekolah, tetapi juga dalam mempengaruhi masa depan anak.

B.     Saran

Berdasarkan kenyataan dilapangan, kita dapat menemukan beberapa pengajar yang masih kurang memperhatikan pengembangan kreativitas anak didiknya, maka dari itu kita sebagai calon-calon pendidik masa depan harus mempersiapkan sejak dini rencana-rencana pengajaran yang merujuk pada pengembangan kreativitas anak-anak didik dengan berbagai teori dan peran-perannya yang telah penulis ungkapkan pada makalah ini demi kemajuan kreativitas anak-anak bangsa dimasa yang akan datang.



Munandar, Utami. (1999). Mengembangkan Bakat dan Kreativitas Anak Sekolah.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Munandar, Utami. (2004). Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta:
PT. Asdi Mahasatya.
Semiawan, Conny R. (1999). Perkembangan dan Belajar Peserta Didik. Jakarta:
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Guru Sekolah
Dasar Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.